Cerpen Karangan: Sri Rahayu
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga
Ku terdiam dalam kegelapan, kuhidup dalam kesunyian dan kuberlari dalam angan, benda benda yang menempel di tubuhku taklagi dapat kurasakan. Kutapaki lorong panjang yang tiada ujung. Lelah rasanya menentukan langkah yang tiada arah, perlahan kakiku ini mulai menjauh dari titik kehidupan sampai akhirnya aku berada di suatu sudut dimana aku bisa melihat sekumpulan orang orang berbaju putih dan berwajah bersinar di depanku bak mutiara yang berkilauan dengan alunan alunan nada indah penuh makna. Kulambaikan tanganku ke arah mereka dan mereka pun membalasku dengan senyum manis penuh kegembiraan.
Merinding rasanya melihat mereka tersenyum kepadaku, namun ada sedikit suara yang mengganggu pendengaranku sedari tadi. Yah suara seorang wanita yang menangis. Siapa gerangan wanita yang menangis itu dan mengapa ia menangis, yang pasti suaranya berasal dari arah belakang tubuhku. Saat aku mulai membalikan badanku perlahan lahan mataku ini pun mulai terbuka, dinding dinding ruangan yang berwarna putih dan lampu lampu yang berpijar di atas kepalaku seakan menjadi salah satu bagian dari dunia yang menyambut kedatanganku. Ya kini kurasa aku memang sudah berada di dunia nyata yang penuh dengan history itu. Kuperhatikan orang orang yang ada di sekitarku namun tak satu pun dari mereka yang aku kenal. Namun yang jelas suara wanita yang menangis tadi merupakan suara wanita setengah baya yang sedari tadi memegang tangan kananku dan menyambutku dengan haru “Ratih kamu sudah sadar sayang” Ujar wanita setengah baya itu, “ratih siapa ratih?, dan siapa mereka semua? Mengapa aku tak ingat apapun yang berkaitan dengan diriku?, apa aku ini amesia?” Pikirku tanpa kata.
Dokter pun mulai memeriksaku dan mengatakan kalau aku sudah berhasil melewati masa kritis. Kini dunia baruku akan dimulai, aku yang baru tersadar dari tidur panjangku selama hampir satu tahun itu harus mulai dari awal untuk mengenali orang orang di seklilingku, beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan melanjutkan hidup seperti sediakala. Aku masih bingung kenapa aku bisa berada di ruangan ini dan ditempel alat alat medis yang begitu mengerikan ini.
7 hari sudah aku menikmati indahnya dunia ini, aku pun sudah kembali ke sebuah rumah besar berwarna biru dengan gerbang setinggi benteng istana. Aku belum mengetahui rumah siapakah ini. Yang jelas di sepanjang ruangan itu aku melihat foto fotoku bersama dengan seorang wanita dan pria disisi kanan kiriku. Apakah ini rumahku dan apakah orang orang yang berada di dalam foto itu mama papaku?. Kepalaku mulai pening mengingat ingat semua itu. Aku pun memutuskan untuk beristirahat di sebuah kamar berwarna merah jambu dengan poster poster justin beaber yang menghiasi dindingnya. Kubaringkan tubuh kecilku ini dan mulai kuperhatikan benda benda yang ada di dalam ruangan ini. Ku mulai dari sebuah sterofom yang terdapat tulisan “My story” Dan beberapa coretan tangan lainya menempel rapih disana, kemudian kupalingkan pandanganku ke atas meja belajar dan disana terdapat sebuah foto yang lagi lagi merupakan foto yang sama seperti yang tergantung di ruang tamu tadi, kini aku mulai yakin bahwa kedua orang itu adalah mama dan papaku. Yang begitu menarik perhatianku adaalah sebuah buku seperti diary yang tertumpuk di antara buku buku yang berderet di atas meja. Mulai kubuka buku tebal berwarna biru dengan gambar beruang putih sebagai covernya. Kubaca perlahan goresan tinta yang melekat padanya, ternyata benar buku itu sebuah buku diary dimana semua cerita hidupku tertuang di dalamnya.
Tulisan pertama tertanggal 1 agustus 2010
“Hari ini mama dan papa membawaku ke salah satu rumah sakit besar di semarang, aku tak tahu mengapa mama menangis setelah ke luar dari ruang dokter, sebenarnya apa yang terjadi”
Tulisan kedua bertanggal 10 agustus 20010
“Aku pulang dari sekolah dan tiba tiba hidungku berdarah lagi, kali ini darah yang keluar tak seperti biasanya. Aku sangat takut dengan ini semua, apa ini ada hubungannya dengan tangisan mama 10 hari lalu di rumah sakit”.
Tulisan ketiga bertanggal 18 desember 2010
“Hari ini aku jatuh pingsan pada saat pelajaran matematika dimulai. Kepalaku sangat sakit tak tertahankan dan lagi lagi darah itu keluar begitu derasnya dari dalam hidungku yang mungil itu”
Tulisan keempat tertanggal 7 januari 2011
“Kali ini aku aku sudah tak tahan lagi bertanya kepada mama papa mengenai keadaanku, mengapa kepalaku sering sakit dan akupun sering jatuh pingsan akhir akhir ini, namun lagi lagi mama tak menjawab pertanyaanku itu”
Tulisan kelima tertanggal 20 maret 2011
“Hari ini aku masuk ke kamar mama dan tak sengaja menemukan sebuah resep dokter. Aku tak begitu tau obat apa yang tertulis dalam kertas kecil itu, yang jelas aku yakin bahwa resep ini adalah obat yang sering kuminum setiap hari”
Tulisan keenam bertanggal 21 maret 2012
“Rasanya jantung ini mau copot setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku divonis dokter mengindap penyakit kanker otak stadium lanjut, mengapa mama tega menyembunyikan ini dariku”
Tulisan ketujuh bertanggal 3juni 2012
“Kurasa aku sudah tidak kuat lagi, malam ini kepalaku serasa mau pecah, darah terus mengucur dari dalam hidungku dan pandanganku sudah agak buram. Sakit sekali rasanya. Tuhan jika engkau mau mengambilku hari ini aku sudah siap”.
Tulisan terakhir itu sedikit membangkitkan ingatanku. Aku mulai ingat kalau aku memiliki orangtua yang begitu sayang padaku dan aku juga mulai ingat siapa diriku sebenarnya. Kututup buku memori itu dan kuberlari menuju mama yang sedang menyiapakan makan malam untuk kami. Kupeluk mama dan kubilang kalau aku sangat sayang denganya. Mama pun membalas dengan pelukan hangat, senyum manis pun tergambar dari malaikat yang mendorongku terus hidup selama ini.
Aku dibawa menuju sebuah tempat yang tidak asing bagiku, tempat dimana banyak anak anak penderita kanker sepertiku berkumpul, tempat dimana aku menghabiskan hari hariku dulu. Jeritan, tangis dan tawa anak anak itu sedikit membantuku untuk mengingat lebih jauh siapa diriku sebenarnaya, aku merupakan sebuah relawan yang mengajar para anak anak penyandang kanker di salah satu daerah terpencil di semarang, sama sepertiku kebanyakan dari mereka sudah tidak memiliki rambut lagi alias gundul.
Kulanjutkan kegiatanku menelusuri ruangan demi ruangan yang berada di panti itu, hingga langkah kakiku membawaku ke suatu ruangan dengan seorang gadis kecil berdiri di dalamnya. “Hey gadis kecil kenapa kamu menangis” Ujarku sambil mengusap airmata gadis itu. “Aku bosan berada di sini kak, setiap hari harus minum obat dan gak bisa main seperti teman temanku lainya, kenapa aku berbeda dengan anak anak lainya kak” Ujar gadis kecil dengan tongkat yang menopang tubuhnya itu. Tuhan kenapa berat sekali cobaan gadis kecil ini, masa depanya masih panjang namun sudah tidak memiliki sebuah kaki dan menderita penyakit ganas seperti ini.
“Sayang kamu lihat pelangi yang tergores indah di langit itu?” Tanyaku sambil menunjuk ke arah langit biru, gadis itu pun memperhatikan lekukan dan warna demi warna yang terlukis menghiasi langit itu. “Tuhan menciptakan pelangi dengan warna yang berbeda beda, namun terlihat indah dan menakjubkan bukan, nah itu sama halnya seperti dirimu sayang, kamu terlahir berbeda karena kamu istimewa” Sedikit penjelasanku kepada sang gadis kecil itu. Gadis kecil itu pun tersenyum dan memeluku erat.
Waktu sudah menunjukan pukul 17.00 waktunya aku pulang beristirahat. Namun saat hendak memasuki mobil kepalaku sakit tak tertahankan, karna aku tak ingin membuat mama khawatir dengan keadaanku maka kubilang kepada mama kalau malam ini aku akan menginap di panti. Aku tak tahu kenapa kepalaku kembali terasa sakit mungkin karena aku belum minum obat hari ini.
Bel masuk sekolah pun berbunyi siswa siswa berhamburan masuk ruang kelas bak kapas tertiup angin. Kumasuki salah satu ruang kelas bertuliskan xi ipa 2. Suara gemuruh dan sorak tawa bahagia teman temanku mengiringi langkahku sepanjang perjalanan ke tempat dudukku, meskipun aku belum ingat betul siapa mereka yang pasti aku yakin bahwa mereka adalah orang orang yang care terhadapku. Kududuk dengan santai dan mulai kubuka buku pelajaran matematika yang penuh dengan rumus.
Goresan demi goresan tinta mulai kutuangkan di atas kertas kosong di depanku, aku bersyukur tuhan telah membiarkanku menikmati dunia untuk yang kedua kalinya, saat aku sedang serius mengerjakan soal yang diberikan guru tiba tiba ada sosok laki laki berbadan tinggi berkulit putih dan berkacamata melempariku dengan subuah kertas bertuliskan “Aku senang kamu sudah kembali ke sekolah lagi”, aku tak ingat siapa lelaki itu yang kuingat hanyalah dia merupakan salah satu dari banyaknya orang yang menyambut kesadaranku dari tidur panjangku di rumah sakit tempo lalu.
Aku mulai terganggu dengan sikap dia terhadapku, mulai dari memperhatikan pola makanku, membawakan semua keperluanku sampai melarangku melakukan hal hal yang kusuka. Siapa sebenarnya laki laki ini mengapa dia begitu menyebalkan dan memuakan. “Hey kamu mengapa begitu peduli padaku?, ada hubungan apa kamu denganku?” Belum selesai pertanyaanku tiba tiba..
Ruangan yang begitu tenang berwarna biru muda berukuran 4×5 meter dengan bau obat yang khas, disinilah aku terbaring. Rasanya mataku enggan terbuka, namun kurasakan hangatnya tangan yang sedari tadi menggenggam tangan kananku yang mungil ini. Rio laki laki yang membuatku begitu marah di kelas tadi, dengan wajah cemas dia menanyaiku yang baru tersadar “Ratih are u okey”. Tanpa kujawab langsung kupalingkan wajahku darinya. Dia pun mengerti dengan keadaanku saat ini dan pergi ke luar ruangan agar aku bisa beristirahat.
Senyum matahari pun mengiringi langkahku menuju kelas tercintaku itu, tentunya dengan harapan agar si rio tak menggangguku lagi hari ini, kududuk di barisan no 2 dari meja guru. Pelajaran pun dimulai namun ada yang aneh dengan pagi ini, lelaki yang biasa menggangguku dengan pertanyaan pertanyaan gak penting itu saat ini tidak ada di dalam kelas, “Syukurnah, terimakasih tuhan engkau telah mengabulkan do’aku pagi ini” Ucapku dalam hati
Hari hari berikutnya kondisi semacam ini masih berlangsung, kelas yang tadinya ramai karena celotehan celotehan dari dia kini mendadak sepi bak ruangan tak berpenghuni, rasa kangen akan jailan jailan dan pertanyaan serta perhatian dari dia pun muncul. “Ahh kupikir aku sudah mulai gila sekarang, mana mungkin aku kangen dengan si pembuat ulah itu” Gumamku dalam hati.
“San tumben ya beberapa hari ini rio tidak masuk kelas” Tanyaku penasaran pada teman sebangkuku itu.
“Ciee ratih, kenapa tanya tanya tentang rio, kangen ya” Goda sandra kepadaku.
“Kamu tidak tahu kalau rio satu minggu yang lalu masuk rumah sakit” Tanya sandra
“Tidak, bukan urusanku kan” Jawabku jutek
“Memang kamu tidak penasaran dia sakit apa”
“Tidak” Jawabku singkat, sebenarnya sih penasaaran tapi kalau kujawab iya nanti aku dikira perhatian lagi sama si rio.
Saat aku hendak memasukan buku ke dalam tas tiba tiba ada sebuah surat berwarna merah muda terselip di tasku, ternyata surat itu dari rio. Aku tak tahu siapa yang membawakan surat rio itu untukku. Setelah kubaca aku baru mengetahui bahwa rio dirawat di rumah sakit elisabeth semarang, sebuah rumah sakit swasta yang letaknya tak jauh dari sekolahku. Karena merasa bersalah telah mengacuhkan rio selama ini, aku pun datang ke rumah sakit dengan diam diam, kutanya kepada suster ruangan yang ditulis rio di surat tadi dan kupercepat langkahku menuju ruang tersebut. Saat tiba di depan ruang inap rio kepalaku mendadak kumat sakit dan tak tertahankan lagi, aku pun dibawa salah seorang suster menuju ke ruangan di ujung deret ruang kamar inap rio.
Aku bertanya kepada dokter kenapa kepalaku sering sakit seperti ini, rasa sakit ini sama seperti rasa sakit yang kualami sebelum aku terbaring koma di rumah sakit 1 tahun lalu. Apa penyakit itu belum betul betul pergi dari tubuhku, dan apa aku harus mengulang tidur panjangku bersama alat alat medis yang tertempel di tubuh tak berdayaku. Entahlah aku mulai tambah pusing memikirkan semua itu. Tiba tiba ada sebuah ingatan yang tak sengaja muncul dalam benakku, ingatan masa lalu bersama seorang laki laki yang menggandeng tanganku sepanjang malam. Laki laki yang selalu berada di belakangku untuk menangkapku saat aku terjatuh dan tak sadardan diri, laki laki yang selalu meluangkan waktunya untuk menjengukku di rumah sakit dengan membawa sejuta motivasi kehidupan kepadaku dan laki laki yang tak pernah lelah menungguku tersadar ke dunia ini.
Tangisku langsung pecah saat aku mengingat bahwa sosok laki laki itu adalah rio, rio yang selama ini kubentak bentak, kucacimaki dan kuacuhkan setiap kali menunjukan rasa perhatianya kepadaku. Kekasih macam apa aku ini sampai lupa dengan pengorbanan dan kasih sayang pacarnya. Kekasih macam apa aku ini yang tega menyakiti hati laki laki yang amat menyayanginya. Kuberlari sekuat tenaga menuju ruang melati no 9 itu. Kubuka pintu kamar dan kulihat sosok periang itu tergeletak tak berdaya di atas ranjang besi berbalutkan selang infus di tanganya, kudekatkan tubuh ini padanya dan kupegang tanganya yang selama ini menjaga tubuhku agar tetap berada di sisinya itu.
Seorang wanita seusia mama datang menghampiriku dengan air mata menggenang di wajah kriputnya, ia memberikan kotak berwarna biru bertuliskan for my girl. Kubuka kotak itu dan kulihat beberapa foto yang tercetak beberapa ukuran, rio masih menyipan foto foto saat kami masih duduk di bangku sd dengan 2 buah ikan di tangan kami, rio juga masih menyimpan foto foto kebersamaan kita saat aku sedang sakit bahkan rio menyimpan foto dirinya sedang mencium keningku disaat rambutku sudah tidak menghiasi kepalaku lagi, tangisku sudah ridak terbendung lagi. Ingin rasanya menukar nyawaku dengan nyawanya saat ini.
Rio menderita gangguan jantung sejak lahir dan dia harus mendapatkan donor jantung segera agar mampu bertahan hidup. Keluarganya sudah pasrah jika suatu saat rio diambil oleh tuhan, namun rasanya aku masih belum ikhlas kalo rio meninggalkanku saat ini, kami belum sempat bngobrol semenjak ingatanku tentangnya kembali, aku juga belum sempat mengucapkan terimaksih karena dia sudah begitu baik kepadaku selama ini, dan aku juga belum mengucapkan maaf karena tidak mengenalinya setelah aku bangun dari tidur panjangku,
“Rio bangunlah aku sudah ada disini” Bisiku di telinga rio dengan banjir air mata. Tak terduga rio pun mulai membuka matanya dan mengeratkan genggaman tanganku yang sedari tadi menggengngam tanganya itu. “Rio maaf karena aku sempat melupakanmu selama ini, maaf karena aku sudah membuatmu sakit hati, dan terima kasih karena kamu telah setia kepadaku, jika kita berada di alam yang berbeda nanti tolong jangan pernah lupakan aku, aku akan selalu mengingatmu dalam hatiku, and please save me in your memory” Ucapku kepada rio.
Rio pun dibawa ke ruang operasi selepas 2 jam aku mengunjunginya tadi. Aku yang sedari tadi memperhatikan rio dari sudut kamar dengan wajah cemas kini bisa tersenyum bahagia karena bisa melewati masa kritisnya dan membuka matanya meskipun dia sudah tidak bisa lagi melihatku namun aku akan tetap melihatnya dalam diam.
Sel kankerku mulai tumbuh lagi di otakku dan kini sel kanker itu tumbuh semakin ganas sehingga tak ada harapan lagi untukku tetap bertahan, untuk itu sebelum aku menghembuskan napas terakhirku kuputuskan untuk menemui dokter dan berkata akan menyumbangkan jangtungku untuk orang terkasihku itu.
“Tuhan terimakasih atas kesempatan kedua kehidupan yang kau berikan kepadaku, terimakasih atas kesempatan yang engkau berikan sehingga aku bisa bertemu dengan orang orang yang hidupnya lebih susah dariku, dan terimakasih sudah memberiku kesempatan untuk bertemu dan membantu orang orang terkasihku”.
End.
Sumber : www.cerpenmu.com
No comments:
Post a Comment