Cerpen Karangan: Yessy Utari
Kategori: Cerpen Cinta
Di bawah rintik hujan malam itu Nina pergi meninggalkan fahmi. Fahmi hanya bisa menatap kepergian Nina. Sesekali Nina melihat ke belakang dan dilihatnya Fahmi yang menatap kepergian Nina tanpa bergeming sedikitpun. Tangis Nina semakin jadi dia tidak sanggup untuk berjalan akhirnya Nina berlari sekencang mungkin.
Setelah dikira jauh dari pandangan Fahmi, Nina berhenti. Nina menangis sejadi jadinya. Di bawah pohon di tepi jalan malam yang sepi. Hanya sesekali mobil lalu lalang. Di bawah lampu temaram di bawah rintik hujan yang semakin jadi.
“Maaf kak, aku lakukan semata karena Allah, Gak ada niat untuk menyakitimu atau siapapun. Kita jalani sesuai jalur kita masing masing, kau dengan kehidupanmu dan aku dengan kehidupanku. Jika kita berjodoh biarkan Allah yang menuntun kita untuk bertemu kembali. Aku melepasmu untuknya karena Dia.
Berat hati sebenarnya aku kak, sakit hatiku, seperti ada daging yang menyumbat tenggorokan dan dadaku sangat sesak. Air mataku terus mengalir. Bahkan walau aku berkata dalam hati untuk kuat, masih saja aku mengharapkanmu. Berharap memelukmu, berharap lebih padamu. Ini adalah kesalahan. Ini tidak benar.
kakak yang pertama, kakak yang mengubahku, kakak yang membuka mataku, kakak yang menunjukkan jalan ini padaku, aku sudah setengah jalan dan aku tidak bisa berhenti hanya karena aku ingin dengan kakak, ingin bertemu kakak, ingin bersama kakak.
Suatu saat kakak akan melupakanku. Aku takut hal itu terjadi. Pertemuan singkat ini sangat membekas di hati dan ingatanku. Setiap malam sebelum tidur aku hanya bisa menatap foto kita. Di ponselku tak ada foto lain selain foto kita. kakak, laki laki pertama yang foto berdua denganku. kakak mungkin akan merasa biasa saja tapi bagiku sangat luar biasa.
Aku ingin menjadi wanita yang baik agar pantas bersanding dengan kakak. Tapi itu adalah sebuah kesalahan. Setelah aku menjadi baik apakah kakak akan melihatku? Belum tentu.
Ada orang lain dalam hati kakak. Walau kakak baik padaku tapi ada orang lain yang kakak suka sejak dulu bahkan sebelum kakak mengenalku. Aku melepasmu untuknya karena Allah. Aku ingin kakak bahagia dengan orang yang kakak cintai.”
Fahmi melihat Nina menangis di balik pohon itu dan Fahmi berdiri di balik pohon itu. Fahmi ikut merasakan kesedihan Nina. Seakan hati mereka menyatu. Lama mereka saling diam diantara ketidak tahuan masing masing. Larut dalam pikiran mereka sendiri.
Setelah agak tenang Nina bangkit. Fahmi melihat Nina khawatir. Dengan penuh keyakinan Nina berjalan tanpa melihat ke belakang lagi. Fahmi keluar dari balik pohon dan kembali menatap kepergian Nina.
“Apa ini perpisahan untukku? Cara seperti inikah yang kau inginkan? Aku masih ingin bertemu sakali lagi. Aku ingin bertemu lagi denganmu Nina. Tidak ada yang lain aku ingin kita bertemu lagi.
Tapi kenapa kau memutuskan untuk pergi dariku? Kenapa aku merasa kehilangan? Siapa kamu? Siapa aku? Karena apa Nina? Apa aku sebodoh itu? Apa kau menyukaiku? Nina siapa yang akan menjawab semua pertanyaanku? Aku ingin kita bertemu dan menjawab semua pertanyaanku. Pastikan kita akan bertemu Nina.”
Fahmi pergi setelah melihat Nina tak tampak oleh pandangannya. Langkah Fahmi berat. Dia masuk mobilnya dan masih diam menatap hujan.
Ingatan masa lalu kembali hadir
Tak ada yang spesial pertemuan mereka. Nina datang hanya untuk bertemu dengan Fahmi. Fahmi datang bukan untuk bertemu Nina tapi untuk bertemu penggemarnya. Fahmi tak mengenal Nina. Namun Nina mengenal Fahmi lebih dari yang Fahmi tahu.
Diam diam Nina sudah menjai stalker sejati Fahmi. Mengetahui semua tentang Fahmi. Bak Wartawan yang terus mencari informasi tentang Fahmi. Bahkan Nina merasa tak sedang berada dalam tubuhnya. Rohnya melayang entah kemana sementara tubuhnya masih di tempatnya semula.
Bagi Nina, dirinya bagai jarum dalam tumpukan jerami. Namun pikiran untuk bisa bertemu Fahmi sangat kuat. Dan tiba tiba saja dia sudah berada di depan Fahmi duduk sangat dekat disampingnya. Namun tetap saja dia adalah jarum yang sangat kecil yang tak tampak.
Fahmi melihat sekeliling ada beberapa orang baru di hadapannya. Sebagian besar dia mengenalnya namun ada beberapa yang belum dia kenal. Pasti akan sangat sulit memahami semua ini. Walau ini bukan yang pertama mengadakan acara semacam ini tapi tetap saja Fahmi membutuhkan waktu untuk bisa membiasakan diri menjadi seorang yang di kagumi.
Fahmi menegur satu persatu penggemarnya. Mereka tampak sama di mata Fahmi. Beberapa wanita yang mengaguminya yang entah apa yang mereka suka darinya. Fahmi merasa dia hanya laki laki biasa yang kini sedang berusaha menyelesaikan kuliahnya, seceppat mungkin, sebaik mungkin dan hanya itu.
Tapi kini harus berbagi kehidupan dengan para penggemarnya. Membagi waktu untuk hanya sekedar menyapa “Hai” atau mendengarkan curhatan mereka tentangnya. Tak apa baginya, ini seperti bercermin di antara kerumunan orang.
“Aku bisa tahu apa yang orang pikirkan tentang aku, pendapat mereka dan mungkin dengan begitu aku akan bisa menjadi lebih baik, ini adalah hiburan sekaligus ujian untukku. Menerima pendapat banyak orang dan membagi perhatianku untuk mereka.”
“Hai hai…” Kata Fahmi pada Nina. Namun Nina asik dengan pikirannya tentang orang orang di sekelilingnya hingga seseorang yang duduk di dekat Nina menepuk bahunya.
“Nina, kamu dipanggil” Kata gadis itu.
“Oh, iya kak” Jawab Nina
“Siapa namanya?” Tanya Fahmi
“Nina. Namaku Nina” Jawab Nina memperjelas.
“Oh oke, aku pengen tahu dong, bagaimana kalian bisa tahu aku?” Kata Fahmi. Semua penggemarnya mulai ribut dan bicara secara bersamaan.
“Ditanyanya satu satu atuh kak…” Celetuk Nina spontan setelah melihat sedikit keributan.
“Oh oke oke, iya udah dari kamu aja kalau gitu. Kamu tahu aku darimana? Atau dari temen?” Kata Fahmi seraya tersenyum.
“Bukan, Awalnya aku hanya ingin mencari informasi tentang jurusan keperawatan. Keperawatan anastesi yang ada di Jakarta. Tanpa sengaja aku menemukan iklan tentang kakak. Awalnya aku mengabaikan iklan itu, tapi setiap kali aku search selalu muncul akhirnya aku mulai mencari informasi tentang kakak dan sampailah disini” Jelas Nina
“Kalau aku boleh kasih saran lebih baik kamu ambil jurusan bidan, soalnya aku pengen punya istri seorang bidan.” Kata Fahmi seraya tertawa. “Serius menurut aku…”
“Sebenarnya itu juga yang pengen aku lakuin. Jadi bidan, tapi aku juga pengen masuk tim 118. Kalau aku jadi bidan apa mungkin aku bisa masuk tim 118? Kesempatan aku Cuma satu, aku jadi perawat, biar bisa masuk tim 118. Selain itu aku pengen ambil perawat anestesi agar bisa bekerja di ruang operasi. Aku ingin bekerja di ruang operasi.”
“Iya iya aku paham, tapi kalau jadi bidan kamu bisa buka praktek sendiri. Selain itu kamu bisa bertindak seperti dokter. Tapi kalau perawat kamu gak bisa buka praktek sendiri, kamu harus bekerja di instansi….”
Nina terdiam dia mendengar Fahmi bicara tapi dia hanya memikirkan tentang perkataan Fahmi bahwa “Dia ingin memiliki istri seorang bidan sama seperti ibunya.” Sementara Nina datang untuk memastikan ‘Jika dia berjodoh dengan Fahmi maka mereka akan bertemu’ Sepanjang perjalanan Nina terus berpikir apa tujuannya menemui Fahmi. Dan hanya itu satu satunya jawaban yang ada dipikirannya.
Nina berhasil melupakan masa lalunya karena bertemu Fahmi. Kali ini dia tak ingin berharap lebih. Dia akan melepaskan Fahmi membiarkan Fahmi hidup di jalannya sendiri. Nina hanya yakin jika dia dan Fahmi berjodoh akan ada pertemuan yang kedua dan ketiga.
Kini Nina memiliki satu motivasi untuk terus berada di jalurnya. Dia ingin menjadi bidan seperti yang dia cita citakan dari awal. Lagipula kedua orangtua Nina tak pernah setuju Nina mengambil jurusan keperawatan. Orangtua Nina lebih menginginkan Nina masuk jurusan bidan.
Saat sesi foto, Nina malu untuk maju. Dia tidak pernah berfoto dengan laki laki sebelumnya. Dan foto pertamanya adalah dengan Fahmi. Padahal dalam perjalanan dia berniat hanya ingin menjadi penonton. Tapi banyak yang memintanya untuk foto. Akhirnya fotolah mereka berdua.
Nina memberikan ponsel pada Fahmi. Fahmi menatap Nina sekilas.
“Aku yang pegang kameranya? Oke.” Kata Fahmi dan mempersilakan Nina duduk. Canggung namun Fahmi berhasil menguasai suasana sehingga membuat Nina nyaman saat berfoto.
Acara selesai dan mereka pulang di malam yang semakin larut. Seakan enggan meninggalkan Fahmi atau membiarkan dia pergi. Kemana Fahmi pergi penggemarnya mengikutinya seperti sedang menggiring anak angsa. Nina berjalan di paling akhir mengamati tingkah bobohnya. Masih bertanya “untuk apa aku ada disini?”
Dan lagi lagi hanya satu jawabanya “Jodohku” Tapi mungkinkah bisa menjadi jodoh idolaku ini?
Di parkiran mobil masih enggan membiarkan Fahmi pergi. Mereka satu persatu memeluk Fahmi dan mencium pipi kanan dan kiri.
“Apakah aku juga akan melakukan hal yang sama? Ini adalah hal yang salah. Ini tidak nyata, ini salah.”
Nina melakukannya, dia memeluk Fahmi dan menempelkan pipinya pada pipi fahmi. Sepertinya pipinya mulai memerah dan panas. Ini adalah hal yang tidak seharusnya dia lakukan. Dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Tak ada laki laki yang dia peluk selain ayahnya. Tidak ada pipi laki laki yang menempel pada pipinya selain ayahnya. Tak ada satu laki lakipun hanya Fahmi yang pertama. Walau bukan Fahmi cinta pertamanya. Karena bertemu Fahmi semua perasaan suka pada sosok itu menghilang.
Tak tersisa bahkan walau hanya secuil. Nina benar benar menganggap tak pernah menyukai sosok itu. Sepanjang hari yang ia pikirkan hanya Fahmi.
Fahmi dan Sena adalah sahabat, sejak SMA. Persahabatan mereka terjalin sangat erat. Mereka memutuskan untuk kuliah di Universitas yang sama. Namun Fahmi gagal masuk Universitas yang dia inginkan. Akhirnya hanya Sena yang masuk Universitas itu.
Fahmi sempat putus asa, namun dia bangkit. Dia ingin bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Apapun itu, akhirnya dia memutuskan untuk kuliah di bidang kesehatan. Menjadi dokter seperti ayahnya.
Fahmi berusaha keras, belajar siang malam agar bisa masuk universitas yang dia inginkan. Bahkan tak segan dia selalu bertanya ini itu pada ayah dan ibunya. Tidak cukup hanya membaca buku, dia terus menggali informasi, seluruh usaha dia keluarkan. Dengan tekat bulat dan kuat.
“Kali ini aku tidak boleh gagal.”
Dan inilah puncaknya. Disaat dia berhasil masuk universitas yang dia harapkan. Sesekali Fahmi dan kawan kawannya menghibur diri dan mengaploud videonya di media sosial. Banyak yang menyukai videonya dan dari sinilah Fahmi mulai menjadi idola.
Sena dan Fahmi masih bersahabat erat walau tak berada dalam satu universitas. Sesekali mereka bertemu dan melepas rindu. Kadang nonton bioskop bersama.
Sena dan Fahmi sama sama sibuk namun masih menyempatkan diri untuk bertemu. Selain itu mereka bekerja di bidang yang sama. Sama sama menjadi idola.
Sena sudah lumayan lama bekerja di bidang modeling. Dia mengenal banyak orang. Dan kini dia sedang dekat dengan seorang pria tampan yang sangat baik. Namanya Rohid.
Sena memperkenalkan Rohid pada Fahmi. Fahmi tentu saja terkejut. Sahabatnya dekat dengan pria lain. Namun Fahmi tidak bisa berkata apa apa. Sena hanya sahabatnya, Fahmi tidak ada hak untuk melarang keputusan Sena. Fahmi hanya bisa mendukung dan berdoa yang terbaik untuk sahabatnya. Yang terpenting bagi Fahmi adalah perhatian sahabatnya tak berkurang walau sudah ada pria lain yang lebih dia cintai.
Fahmi terdiam dalam malam. Termenung dan mulai berpikir dalam lamunan panjangnya. Inilah saatnya untukku, menentukan. Aku memang menyukai Sena lebih dari sekedar sahabat. Aku mencintainya. Tapi aku takut mengutarakan karena aku takut kehilangan perhatiannya padaku. Aku benar benar takut saat aku bilang cinta padanya dia berpaling lantas meninggalkanku.
Hanya Sena yang memahamiku, sahabat terbaikku. Dia mengajarkan banyak hal tentangku. Aku hanya ingin seandainya dia memang bukan tercipta untukku, akan ada seseorang yang benar benar memahamiku tanpa aku cerita padanya apa yang aku rasa. Mengerti aku dan aku akan menjaganya seumur hidupku. Dan walau hati kecilku menginginkan dia adalah Sena.
Lamunan Fahmi pudar dan Fahmi segera menjalankan mobilnya. Semua adalah masa lalu. Hujan masih tak mau pergi. Di bawah hujan Fahmi mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia ingin segera tiba di rumah. Kemudian telponnya berdering. Dari Sena.
“Hallo assalamu’alaikum?” Kata Fahmi memasang headset.
“Wa’alaikum salam, Fahmi cepetan kesini, penting” Kata Sena dan ponsel tiba tiba mati.
“Sena sena, hallo sena ada apa? Dimana?” Teriak Fahmi dan segera mempercepat mobilnya. Fahmi tidak tenang dan pikirannya tertuju pada rumah Sena.
Setibanya Fahmi di rumah Sena, didapatinya Sena menangis. Fahmi mendekati Sena. Dan berusaha menenangkan Sena.
“Ada apa Sena? Ceritakan apa yang terjadi?”
“Ayahku Fahmi, ayahku…”
“Dimana ayahmu?” Tanya Fahmi
“Di kamar.” Jawab Sena dan Fahmi bergegas ke kamar ayah Sena. Fahmi melihat ayah Sena yang tak sadarkan diri di tempat tidurnya.
Fahmi mendekati ayah Sena dan melakukan palpasi pada tangan ayah Sena. Kemudian mengecek nadi lehernya dan mendekatkan telunjuk tangannya di depan hidung ayah Sena juga mendekatkan telinga di wajah ayah Sena.
“Sena tolong ambilkan kotak darurat di mobilku. Cepat” Kata Fahmi dan Fahmi seperti mencari sesuatu.
“Kumohon sadarlah, aku tahu kau belum mati, ayo buka matamu” Gumam Fahmi. Fahmi mencari senter. Namun tak ditemuinya. Fahmi mulai putus asa, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh kantong kemejanya. Dia mendapati penlight di sakunya.
Fahmi mengecek pupil pada mata ayah Sena. Masih ada harapan. Fahmi segera melakukan pengecekan. Sena datang membawa kotak darurat milik Fahmi dan segera secepat kilat Fahmi mengambil stetoskop dan mengecek denyut Jantung ayah Sena. Tanpa berkata apapun Fahmi segera melakukan CPR dan memberikan nafas buatan.
“satu, dua, tiga…” Nafas Fahmi mulai tidak teratur. “Cepat telepon rumah sakit.” Teriak Fahmi di sela sela tugasnya.
Sena segera menghubungi rumah sakit. Sena sudah tidak sabar dia meminta Fahmi yang bertanggung jawab atas kondisi ayahnya selama di perjalanan. Ini adalah tugas yang sangat berat untuk Fahmi. Apalagi dia belum memiliki lisensi sebagai dokter. Dia hanya mahasiswa.
“Sena, maafkan aku, aku tidak bisa. Aku bukan dokter, aku belum memiliki lisensi. Aku akan menelpon ayahku. Tenanglah. Yang terpenting sekarang, ayahmu sudah melewati masa kritisnya.” Kata Fahmi dan segera menghubungi ayahnya.
Setibanya di rumah sakit, ayah Fahmi sudah siap menunggu di IGD dan segera menghampiri Fahmi. Dengan sigap mereka mendorong brankar dan secepat kilat melakukan pertolongan. Fahmi dan Sena sangat cemas. Suster mulai melakukan tindakannya, memberikan cairan infus dan memasang EKG.
Hasil kardiografnya sudah keluar. Hasilnya sangat buruk. Ayah Sena harus menjalani rangkaian pemeriksaan lebih lanjut. Suster segera menyiapkan kamar rawat untuk ayah Sena.
Fahmi memegang bahu Sena dan menenangkan Sena. Semua ini akan berlalu. Ayahmu akan kembali. Kita berdoa yang terbaik, ayahku juga akan berusaha semampunya agar ayahmu kembali normal.
“Terimakasih Fahmi, Allah sudah mengirimkan padaku sahabat terbaik untuk menjagaku dan menolongku. Aku adalah wanita paling beruntung di dunia.” Kata Sena.
“Aku juga.” Jawab Fahmi. Fahmi termenung di ruang tunggu depan ruangan ayah Sena dan Sena bersama ibunya masih di ruangan ayahnya.
Fahmi mengambil penlight dari sakunya. Dia ingat saat Nina memberikan penlight itu padanya. Dengan tersipu Nina memberikannya. Dan saat itu Fahmi memang sedang membutuhkan penlight dan belum sempat beli karena terlalu sibuk. Dan seakan Nina tahu apa yang Fahmi butuhkan dia datang memberikan penlight itu di waktu yang tepat.
“Kak aku mau kasih hadiah untuk Kak Fahmi.”
“Oh boleh” Kata Panitia. Nina memberikan penlight dan sebuah surat. “Ini apa? Bolpoin? Tapi kok begini?”
“Bukan ini penlight, titip ya ka”
“Kamu sendiri aja yang kasih. Gak apa apa.” Panitia menarik tangan Nina dan meminta Nina untuk memberikannya secara langsung.
“Kak Fahmi” Panggil Nina. “Kak aku mau kasih ini buat kakak, semoga bermanfaat…”
“Wah apa ini? Oh ini sangat bermanfaat banget, kebetulan aku lagi butuh ini dan belum sempat beli, makasih ya… Ini sangat penting untuk…”
“Dipeluk dong…” Kata panitia. Nina malu dan langsung duduk. Fahmi menatap Nina dan segera menjawab pertanyaan penggemarnya yang lain.
“Iya ini bisa melihat macam macam, kulit, mata, rongga rongga yang lain.” Dan Fahmi mulai menguji coba penlight itu pada mata salah satu penggemarnya.
“Dek, kok kamu bisa kepikiran buat ngasih itu sih?” Tanya salah satu penggemarnya.
“Gak tau, aku aja bingung mau kasih kado apa? Trus aku kepikiran kalo kak Fahmi kan calon dokter, pasti butuh senter. Soalnya aku inget sama dokter di tempat aku kerja dia bingung cari senter. Jadi aku pikir kenapa aku gak beliin penlight buat Kak Fahmi. Kalau aku beliin stetoskop pasti Kak Fahmi udah punya dari semenjak semester pertama. Tensi meterpun juga pasti sudah punya. Alat suntik? Untuk apa toh di tempat dia praktek pasti akan disediakan dari instansi mereka. Apalagi pakaian pasti penggemarnya sudah banyak yang memberinya baju, kaos, kemeja, jaket, sweeter, sepatu, sendal apalagi jam tangan.”
“Iya tapi kamu bener bener sesuatu banget” Kata Panitia. “Harusnya tadi kamu peluk kak Fahmi”
“Enggak ah, biarin yang lain aja yang peluk dia. Aku cuma mau peluk seseorang yang halal untuk aku peluk. Foto bersama boleh untuk sekedar jadi kenang kenangan, bertemu juga gak apa apa, hanya sekedar silaturahmi katanya tak kenal maka tak sayang.”
Sena ke luar ruangan dan duduk di samping Fahmi. Segera Fahmi memasukkan penlight itu dalam sakunya.
“Kata Ayahmu, ayahku kena serangan strok lagi, ini sudah yang kesekian kalinya. Mungkin ayahku akan lumpuh untuk sementara, aku akan cuti kuliah dan bekerja keras untuk biaya ayahku.”
“Aku tidak bisa membantu banyak, tapi aku juga akan berusaha agar kamu tidak putus kuliah. Tetaplah kuliah ini adalah keinginan ayahmu untuk melihatmu sukses menjadi yang terbaik.”
“Aku tidak bisa diam begitu aja.”
“Menjadi model memang menjanjikan, tapi pendidikan lebih penting. Kamu harus jadi yang terbaik diantara yang baik. Tinggal satu semester lagi” Kata Fahmi.
“Lalu bagaimana dengan ayahku?”
“Aku dan ayah yang akan membantu pengobatan ayahmu, kamu hanya perlu fokus kuliah.”
“Aku akan menggantinya.”
“Baiklah” Jawab Fahmi kemudian.
Fahmi dan Sena menjalani kehidupannya seperti sebelumnya, masih saling bertemu dan berbagi cerita. Fahmi juga mulai merambah kemampuannya di bidang perfilman dan menjadi penulis juga bernyanyi. Kariernya mulai melejit.
Begitupun Sena, kemampuannya dalam mendekorasi tak dapat diragukan lagi, selain itu kini dia sudah menyelesaikan studynya. Dan lebih fokus menjadi modeling dan bekerja di perusahaan asing.
Sementara Nina semakin jauh dari Fahmi dan menyibukkan diri berusaha keras untuk meraih mimpi dan cita citanya. Bekerja bekerja dan beribadah. Memperbaiki diri, menjadi pribadi yang lebih baik dan mengikhlaskan segalanya pada Allah semata.
“Suatu saat aku akan menemukan yang terbaik diantara yang baik.” Fahmi dan Nina.
SEKIAN
No comments:
Post a Comment