Karya: Irfandi Jembrana Bali
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Sedih
"Udah Zam, gak perlu dilanjut penjelasannya, hatiku sudah cukup sedih tiga hari ini, apa kamu tau, aku gak minta kamu bawakan sesuatu, aku hanya butuh silaturrahmimu dan kehadiranmu", Sahutku dalam Hp dengan segenggam tisu untuk menghapus ingus dan airmataku.
"Tapi aku memang sibuk Mir".. Sahut zammil tiba-tiba Hpnya dimatikan..
Malam itu airmataku tak berhenti menetes, tubuhku makin lemas, merasakan perubahan zammil yang seketika, terlebih lagi disaat-saat aku sakit, justru zammil tak menjengukku dengan alasan sibuk padahal ia bukan pekerja tetap. dan yang membuatku tak habis fikir sehingga aku beranggapan bahwa kali ini dia tak peduli denganku, karna perubahan yang mendadak, dari sinilah timbul kecurigaanku padanya. ada apa dengan zammil sebenarnya, yang memiliki nama panjang Al-Muzzammil.
Mendung dipagi belum nampak matahari dengan rintik-rintik hujan yang menghiasi megah rumahku, keadaanku yang lagi sakit, aku memaksa ayahku untuk mengantarku menuju rumah zammil, disana aku bertemu dengan ibu zammil.
"Bu.. Ada masalah apa dengan Zammil?" tanyaku raut wajah penasaran.
"Zammil baik-baik aja nak, ada apa?" tanya balik ibu zammil yang lagi membungkus kue.
"Gak apa-apa bu, Mira cuma merasa akhir-akhir ini zammil agak berubah" tuturku pada ibu zammil.
"Zammil masih keluar nak, kamu sendiri sudah sembuh?" sanggah ibu zammil.
"Lumayan bu, meski gak sembuh total, baiklah bu, mira pamit dulu"
Dalam mobil aku masih bertanya-tanya namun mengingat jawaban ibunya, aku menyimpulkan bahwa ini murni masalahnya terdapat pada zammil. dan tingkat kecurigaanku semakin tinggi, mungkin disela-sela sakitku zammil mencari kesempatan bersama wanita lain, namun setelah kulakukan beberapa pertemuan dengan sahabat dan temannya bahkan akupun sempat menemui zammil secara langsung pada saat ia latihan kaligrafhy disebuah Yayasan.
"Zam.. Kamu kan tau aku lagi sakit kenapa gak silaturrahmi, ada apa denganmu?" bahasaku padanya dengan rasa penasaran.
"Mir.. Harusnya kamu dirumah aja, gak perlu kesini aku banyak urusan" jawab zammil yang terus fokus pada lukisan kaligrafinya.
Mendengar jawaban itu aku langsung pulang dalam hati aku menagis entah apa salahku padanya. tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa baginya, orang yang aku kenal begitu santun, ramah bahkan tiga tahun aku dengannya, tak pernah ada problem begini, bahkan sejak terjalin ikatan, sedikitpun ia tak pernah marah.
Berbicara soal cinta, zammil itu luar biasa, ia yang tak pernah menyentuhku, jangankan cium kening, pegang tangankupun ia tak pernah dan aku bahagia dengan hubungan seperti ini, akan tetapi kasih sayang yang dulunya amat aku rasa, kini seakan hilanng, zammil menjelma bagai musuhku, kurang lebih satu minggu aku tak dihiraukan, aku merasa kesabaranku hampir hilang melihat sikap zammil, akhirnya aku putuskan untuk menemuinya lagi, melalui sms kepadanya,
"Zam.. Aku gak minta kamu kerumahku, kalau memang kamu sudah bosan untuk menemuiku, atau bosan denganku, aku gak butuh, tapi besok aku yang kerumahmu, kamu gak usah kemana-mana, kita bertemu dirumahmu," Isi smsku padanya. Awalanya aku kira zammil akan menolak permintaanku namun balasan smsnya ia bersedia menungguku. meski sebenarnya aku sudah mulai marah dengannya dan aku pasrah bila nanti dalam pertemuan itu terjadi sesuatu yang tak diinginkan, kalaupun hasilnya kita harus berpisah aku ikhlas.
Subuh menuju pagi usai menggelar sajadah, daun-daun mulai bergetar akibat tarian angin yang menari-nari disekitar rumahku, diiringi sepancar sinar mentari yang hendak menyongsong kearah barat, aku bergegas mandi, dan untuk memberikan nilai lebih dalam pertemuan itu dengan harapan ia akan teringat masa-masa indah kemarin, kali ini aku menggunakan jilbab yang pernah dibelikannya. Sekitar jam tujuh aku sudah tak melihat keluargaku, jadi aku berangkat menuju rumah zammil sendiri, tak jauh dari rumahnya, aku melihat begitu ramai orang beriringan kedalam rumahnya, fikirku mungkin sesuatu terjadi pada ibunya, akupun langsung ikut memasuki rumahnya, jujur saja aku kaget, aku melihat keluargaku, keluarga zammil, seorang ustadz disertai beberapa undangan yang seluruhnya tersenyum dan memandangku. ketika itu tak ada suara apa-apa, hanya hening, semuanya diam. Namun seketika perasaanku bercampur aduk, ada rasa malu, sedikit rasa marah, bingung berbaur debaran jantung yang berdetak lebih kencang, "ada apa ini". Gerutuk hatiku.
“Mir…. Maafin aku ya?” tiba-tiba zammil dari belakangku, aku masih bingung, terdiam merasa tak percaya.
“Maafin aku Mir’…” dengan menatapku nadanya halus seakan penuh rasa bersalah.“ Lalu aku mencoba menatapnya seraya melihat sebuah kotak merah dalam genggamannya.
"Apa semua ini?" tanyaku dengan raut sedikit marah, namun hatiku mulai terbuka ketika melihat mata zammil berkaca-kaca.
"Aku mau mengkhitbahmu..??" Ucap polos dan rasa tulusnya membuatku mulai terbawa.
"Yaa.. Rahman aku dilamar" barisan kata dalam hatiku.
“Maaf ya Mir, Cuma sukuran kecil yang bisa kupersiapkan untuk melamarmu".
"Kurang istimewa ya Mir, acaranya?” Ucap halus mata berbinar-binar, kemudian kotak merah itu aku buka dan memang benar itu sebuah cincin tunangan, seluruh amarahku meluap, lepas dan terbang seketika.
"Maafin aku ya Mir, aku gak mampu beli cincin yang mahal".. Ucapnya dengan desah yang mulai meneteskan satu tetesan.
Aku begitu menyadari, dika yang tak lagi memiliki bapak dan dengan keterbatasannya harus menyiapkan segala sesuatunya sendiri. Aku ambil tangan kanannya dan kucium, hatiku terhantam terasa terpukul akan haru yang aku rasa, air mataku menetes pada jarinya, aku peluk zammil, seakan tak perduli dengan dosa, yang kulakukan hanya ingin membahagiakannya. Kala itu aku memanggilnya dengan sebutan yang tak biasa bahkan tanpa disengaja.
"Aku banngga sama kamu Mas"
"Iya,, aku terima lamaranmu, Maafin sikapku selama seminggu ini ya Mas.."
"Kenapa gak dimusyawarin dulu..?" Tanyaku sambil menagis dalam senyuman dipelukannya.
"Mira kan sakit, Mas gak mau merepotkan" Tutur zammil sambil mengusap airmataku yang membasahi kerudungku.
Gemuruh tepuk tangan dari dua keluarga dan undangan membuat kami berdua berhenti menangis berbalik menjadi senyuman bahagia.
Setelah dua jam sukuran dan doa bersama, keluarga memutuskan secepatnya akan dilaksanakan pernikahan, karna melihat usaha zammil yang penuh dengan kesungguhan dan tanggung jawab, pernikahan nanti segala sesuatunya ditanggung ayahku namun sebelumnya kami berdua meminta agar dilaksanakan prewedding terlebih dahulu, pemotretan dengan konsep "Busana Hijab".
Satu minngu kemudian, tepat jam empat sore zammil menghubungiku.
"Mir.. Kamu berangkat duluan ya ke salon nanti Mas nyusul" ucapannya yang tetap dengan kesantunan.
"Nggak bareng mira ya Mas?" Tanyaku
"Pokoknya mira duluan, Mas pasti datang" Tutur zammil yang berusaha meyakinkanku.
"Baiklah Mas.. Gak apa-apa" Ucapku agak sensitif.
Sesampainya disalon aku tak langsung berias, hampir lima belas menit aku menunggunya iapun tak kunjung tiba, perasaanku mulai hawatir, meski demikian, aku sengaja tak menelfon, dengan alasan takut mengganggu, kali ini aku tak mau berfikir negatif tentanngnya, mungkin saja zammil memang lagi diperjalanan atau mungkin ia hendak memberikan surprise.. Aku menncoba keluar untuk menantinya didepan salon. kulihat kiri kanan wajahnyapun tak nongol.
Sepuluh menit kemudian kakiku mulai capek dan aku bermaksud untuk kembali menuju salon tersebut, ketika perlahan kaki kulangkahkan tiba-tiba terdengar suara, dan itu suara pangggilan zammil desebrang jalan tepat didepanku, dengan wajah yang tampan penuh semangat, akupun membalas dengan senyuman.
Ketika ia hendak menyebrang mendekatiku,
Bbrrrruuuaaakkkkkkk.. Sebuah truk besar menabraknya.. Suasana begitu hening, tak satupun kalimat keluar dari bibirku.. Aku berlari menghampirinya, tiba-tiba seorang bapak-bapak dengan lantunan ayat sucinya. "Innalillillahi Waiinnailaihirajiun..."
Kerudung aku lepas untuk menutupi simbahan darah dikepala zammil, aku peluk dia dalam pangkuanku, teriakanku menggema, histeris menyaksikan kekasih bersimbah darah penuh luka, sesekali jariku mengusap wajah zammil yang sudah berlumuran darah.
“Jangan pergi Mas,"
"Jangan tinggalin Mira,"
"Jangan pergi sayang, aku sayang mas zammil", sesak dada, lirihku terus meneteskan air mata. tangisku makin meledak, meluap dadaku bagai dihantam pukulan besar ketika bapak tersebut memberikan tas yang berisi baju couple yang memang dipersiapkan oleh zammil untuk pemotretan.
"Ya.. Rabb....
Bersamanya aku begitu banyak merasakan kebahagiaan, bersamanya pula aku terlalu banyak meneteskan airmata, terlalu sering Engkau memberikan ujian, mengapa ujian seberat ini yang harus kuterima Rabbi.. Sekeping harapan telah sirna dan sebongkah impian telah hancur"..
Aku masih tak percaya, dadaku makin sesak, dia begitu menyayangiku, kurasakan kehilangan yang teramat dalam hingga tubuhku lemas tak sadarkan diri.
Sadarilah seindah apapun atau seburuk apapun hubungan cinta, jangan pernah berhenti memberikan nasehat kepada pasangan kita walaupun itu hanya, "Hati-hati Ya".. Sebab maut kapanpun bisa datang.
No comments:
Post a Comment