Friday, September 23, 2016

Setitik Cahaya Harapan Si Gadis Buta (Part 2)

Judul Cerpen: Setitik Cahaya Harapan Si Gadis Buta (Part 2)
Karya: Risma Salimatun
Kategori: Cerpen Islami, Cerpen Sedih, Cerpen Keluarga



Beberapa hari berikutnya…
“Zah… Zizah…”, panggil Kak Raka.
“Ada apa Kak…”, tanyaku.
“Kamu akan segera bisa melihat Zah…”, ucap Kakakku seraya menggoyangkan tubuhku.
“Benarkah Kak…?”, ucapku sangat senang.
“Benar Zah… Malam ini kau akan di operasi dan orang itu memberikan matanya secara cuma-cuma
Zah”, ucap Kakaku dengan nada pelan.
“Siapa orang itu kak?”, tanyaku.
“Kakak tidak tau Zah… yang jelas, sekarang kamu akan segera melihat lagi”, ucap Kakakku.
“Benar kata Raihan bahwa impian besarku akan aku genggam dengan tanganku… Tapi, siapa orang yang baik hati itu… Semoga saja, Tuhan membalas kebaikannya dan semoga dia diterima di sisinya…”, ucapku di dalam hatiku.
Malam ini adalah malam dimana aku akan segera mendapatkan impianku. Hanya saja hatiku merasa sangat cemas dan khawatir. Aku khawatir bukan karena aku takut operasi ini gagal, tapi aku khawatir jika aku sudah melihat nanti, aku takut tidak bisa menjaga mataku ini dari pandangan kemaksiatan. Aku selalu berharap agar aku selalu melihat kebajikan dan menutup mataku untuk kemaksiatan.

Malam telah berlalu dan hari demi hari menyambut diriku. Kini hari dimana aku akan melihat indahnya ciptaan Tuhan yang selama ini ingin sekali aku melihatnya. Ingin sekali rasanya, setelah aku mampu melihat aku ingin mewujudkan impian terbesarku selama ini. Sedikit demi sedikit, seseorang membuka perban yang membalut kedua mataku dan mungkin orang itu adalah dokter. Perlahan kubuka kedua mataku dan kulihat sesuatu yang selama ini belum pernah aku lihat. Ya… kini aku telah mampu melihat lagi…
“Kak Raka…?”, ucapku melihat seorang lelaki yang tampan di sebelahku.
“Ya… ini Kak Raka Zah…?”, ucapnya.
“Aku sudah bisa melihat Kak…”, ucapku seraya memeluk kakakku dan menangis karena bahagia.
“Alhamdulilah kalau kamu sudah bisa melihat Zah…”, ucapnya dengan senyumnya.
“Dimana Raihan Kak…?”,tanyaku.
“Em… Nanti saja ceritanya di rumah ya Zah… sekarang kita beresin baju kamu dan kita pulang ke rumah…”, ajaknya.
“Baiklah…”, jawabku.

Di rumah…
“Kak… Zizah pengen liat foto Ayah dan Ibu Kak…”, pintaku setelah sampai di rumah.
“Ini albumnya Zah…”, ucap Kakakku seraya mengulurkan sebuah album berwarna biru muda itu.
“Ibu cantik Kak…”, ucapku saat melihat foto Ibuku di album itu dan meneteskan air mata.
“Sama seperti dirimu Zah…”, ucap Kakakku seraya mengelus kepalaku.
“Benarkah kak…? Apakah aku mirip Ibu…?”, tanyaku.
“Benar Zah… Kau sangat mirip dengan ibu. Saat Kakak melihat dirimu, Kakak merasa bahwa Kakak sedang melihat ibu. Wajahmu, hidungmu, bibirmu, semuanya mirip ibu…”, ucapnya seraya menangis.
“Benarkah…?”, tanyaku.
“Ya itu benar Zah… makannya Ayah sangat menyayangimu karena kau sangat mirip dengan Ibu..”, ucapnya lagi.
“Kau juga sangat mirip dengan Ayah Kak… Kau dan Ayah sangatlah tampan…”, ucapku saat aku melihat foto Ayahku.
“Tentunya…”, ucapnya dengan tersenyum.
“Tempat apa ini Kak…?”, tanyaku saat melihat foto Ayahku, Ibuku dan Kakakku yang sedang berfoto di suatu tempat.
“Ini adalah tempat favorit Kakak, yang dulu adalah tempat bermain Kakak bersama mereka. Tempat ini yang diberikan mereka saat ulang tahun kakak yang ke 12. Tempat ini adalah tempat yang menyimpan banyak kenangan untuk Kakak”, jelasnya padaku.
“Tempat ini sangat indah sekali Kak…”, kataku.
“Kau ingin ke sana…?”, tanya Kakakku.
“Ingin sekali… tapi, sebelum kita pergi ke sana, aku ingin berziarah ke makam Ayah dan Ibu Kak…”, ajakku.
“Baiklah jika itu maumu Zah…”, ucap Kakakku.
“Kalau begitu, aku ingin siap-siap terlebih dahulu Kak…”, pintaku.
“Baiklah…”, jawabnya.
Gamis berwarna biru muda dan kerudung berwarna biru muda itu membalut seluruh tubuhku. Nampak sebuah tongkat berwarna biru muda tergeletak di lantai kamarku. Dulu tongkat ini yang selalu aku gunakan saat aku berjalan, tapi kini aku tidak memerlukannya lagi. Aku memang sangat menyukai warna biru muda, karna apa? karna biru muda selalu mengingatkan diriku pada langit. Aku juga sangat menyukai warna hijau muda karna warna itu mengingatkanku tentang taman dan rerumputan nan hijau. Bahkan kamarku sangat indah dengan cat warna hijau muda dan biru muda. Nampak indah lukisan yang ada di tembok kamarku itu. Masih teringat di fikiranku, saat Ayah hendak mengecat kamarku ini. Aku yang meminta Ayahku untuk melukiskan pemandangan alam yang indah dengan lukisan danau, taman dan langit yang indah. Bahkan Ayahku menggambar diriku yang sedang bermain dengan Kakakku, Ayahku dan Ibuku. Gambar itu terlihat sangat indah dan nyata. Kulangkahkan kakiku menuju ke luar rumah dan ku lihat seorang lelaki yang tampan yang sangat menyayangiku telah menungguku. Dia menyambutku dengan senyumannya yang membuat dirinya begitu tampan dan manis. Dia adalah Kakakku satu-satunya dan hanya dia yang kini aku miliki.

Setelah sampai di pemakaman, Kakakku mengajakku ke subuah makam dengan batu nisan bertuliskan nama Ayahku. Kemudian Kakakku menunjuk sebuah makan yang ada di sebelahnya dengan batu nisan yang bertuliskan nama Ibuku. Thoriq itulah nama ayahku yang memiliki arti “Bintang Pagi” dan Malihah itulah nama Ibuku yang memiliki arti “Cantik”. Air mata tak kuasa ku bendung lagi saat aku membacakan do’a untuk mereka. Setelah itu, kakaku menggandeng tanganku dan menuju sebuah makam yang masih baru dengan batu nisan yang bertuliskan “Raihan Mumtaz”. Melihat nama itu, aku menangis dn tidak menyangka sekali.
“Kapan dia meninggal kak…?”, tanyaku seraya menangis.
“Beberapa hari yang lalu Zah…”, ucap kakakku.
“Dia meninggal kenapa Kak…?”, tanyaku lagi.
“Dia meninggal karena dia sakit Zah…?”, jawabnya.
“Sakit? sakit apa Kak…? Dia nggak pernah bilang sama aku kalau dia sakit Kak…”, tanyaku.
“Dia sakit Kanker Paru-paru dan waktu itu saat dia pergi ke Singapura, sebenarnya dia sedang kemoterapi Zah…”, ucapnya.
“Kenapa kakak nggak pernah cerita sama Zizah sih kak, kalau Raihan punya penyakit dan dia pergi ke luar negeri buat kemoterapi…”, ucapku kecewa.
“Kakak juga nggak tau waktu itu Zah. Kakak tau setelah dia di rawat di rumah sakit 3 hari sebelum kamu operasi. Hari itu Kakak ngejenguk dia dan dia baru cerita tentang penyakitnya itu kepada Kakak. Dia sendiri yang ngelarang Kakak buat ngasih tau kamu karena dia nggak mau ngelihat kamu sedih”, jelasnya.
“Kenapa Raihan nggak pernah cerita sama aku kak… Padahal, aku ingin sekali orang yang pertama kali aku lihat adaalah Raihan”, ucapku.
“Itu tidak mungkin terjadi Zah, karena Raihanlah yang telah mendonorkan matanya untukmu itu Zah…”, ucap kakakku.
“Apa…? jadi mata ini, mata Raihan Kak,…?”, ucapku seraya meraba mataku.
“Iya Zah…”, jawabnya.
“Raihan… sudah banyak berkorban untukku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuknya”, ucapku seraya menangis.
“1 hal yang harus kau lakukan untuknya Zah…”, ucap kakakku menerpa kesedihanku.
“Apa itu Kak…”, tanyaku.
“Gunakan mata itu untuk kebaikanmu… wujudkan mimpi terbesarmu Zah…”, jawabnya.
“Tentu… Aku tidak akan menyia-nyiakan semua ini…”, ucapku seraya mengusap air mataku.
“Baguslah kalau begitu… Yang lalu biarlah berlalu dan jalani yang kini… masa lalumu adalah sejarahmu dan masa depan adalah mimpimu. Kau belajar dari sejarahmu, tapi kau belajar untuk masa depanmu. Hidup itu haruslah seperti berjalan, karena apa? Karena setiap kau berjalan, kau selalu memandang ke depan bukan ke belakang…”, ucap Kakakku memberiku motivasi.
“Great… verry great…”, ucapku seraya bertepuk tangan.
“Sejak kapan kau bisa bahasa Inggris…?”, tanyanya.
“Meskipun dulu aku itu buta dan aku tidak bisa sekolah seperti yang lain, tapi aku punya guru yang sangat jenius. Dia mengajarkanku banyak hal dan bukan hanya ilmu dunia tetapi juga ilmu akhirat…”, jelasku.
“Guru…?”, tanya Kakakku lagi.
“Yah… seorang guru muda yang sangat baik…”, ucapku.
“Siapa…? Kau ini, katakan saja yang jelas siapa dirinya…!!! Jangan membuat teka-teki seperti itu. Kau tau, aku sangat tidak suka dengan teka-teki…”, ucapnya nampak marah.
“Baiklah Kakakku… Jangan marah dong… Bukannya Kakak udah janji buat nggak marah sama Zizah…?”, tanyaku seraya menggoda kakakku yang sedang marah.
“Iya sih, tapi kamu jangan bikin kakak marah dong… Kau ini terlalu bertele-tele tau nggak…”,ucapnya.
“Baiklah… Guru itu adalah sahabatku, Raihan…”, ucapku.
“Raihan…?”, tanyanya dengan kaget.
“Iya Raihan… Dia adalah orang yang sangat cerdas…”, pujiku.
“Begitukah… Oh ya bukannya kamu ingin ke tempat itu ya…?”, tanyanya.
“Oh iya… Ayo kita pergi Kak…”, ajakku seraya menarik tangan Kakakku.

Saat aku sampai di sana, entah mengapa rasanya aku pernah datang ke sana. Rasanya aku sangat mengenal suasana di tempat ini. Rasanya tempat ini tidak asing bagiku, meskipun baru sekali aku datang ke sini. Tempat ini sangatlah indah sekali dan aku duduk bersama Kakakku di subuah kursi panjang berwarna hijau muda di tepi danau.
“Hm… Kak, kok rasanya aku pernah ke sini ya…?”, tanyaku.
“Mungkin…”, jawabnya singkat.
“Ih… bener deh Kak. Rasanya aku sangat mengenal tempat ini dan aku semakin mengenal suasana tempat ini saat aku memejamkan mataku… Benarkah aku pernah ke sini sebelumnya…? Tapi dengan siapa…? kapan?”, tanyaku.
“Kau sangat peka Zah…”, ucap Kakakku.
“Hah…?”, ucapku kaget.
“Ya… kau pernah ke sini dan mungkin setiap hari kau datang ke tempat ini…”, ucapnya yang sangat membuatku bingung.
“Tapi dengan siapa Kak…?”, tanyaku lagi.
“Dengan Raihan… Dia waktu itu pernah cerita sama Kakak kalau kamu sangat suka bermain di tempat ini… kau masih ingat dengan batu itu..?”, ucapnya seraya menunjuk ke sebuah batu besar.
“Ya aku ingat Kak… dulu aku sangat suka duduk di batu itu…”, ucapku.
“Ya… tempat inilah yang selalu kau datangi bersama Raihan…”, ucapnya lagi.
“Jadi tempat ini yang selalu aku datangi dengan Raihan…? Di tempat ini aku menceritakan segala keluh kesahku pada Raihan. Di tempat ini aku menciptakan kebahagiaan dan senyuman bersama Raihan. Di tempat ini, aku selalu menangis dan tertawa dengan apa yang telah kulalui dalam hidupku. Di tempat ini, semua kenangan itu terukir… dahulu, aku bisa mengetahui tempat ini begitu indah hanya dengan merasakan dan mendengarkan suasana sekitar tanpa aku melihatnya. Kini aku telah membuktikan keindahan tempat ini dengan melihatnya langsung… Beautiful, verry nice…”, ucapku seraya tersenyum.
“Tempat ini bukan hanya menyimpan kenangan bagiku, tapi kini bagimu juga Zah…”, ucap Kakakku.
“Ya… di tempat ini kita mengukir kenangan indah bersama orang-orang yang kita cintai…”, ucapku.
Aku dan Kakakku larut dalam kenangan-kenangan di masa lalu. Serasa kita sedang menjelajahi dimensi waktu di masa lalu, kita kembali ke masa lalu itu dan kita serasa sedang menonton sebuah film tentang masa-masa indah itu.

“Zah… Ini hadiah dari Raihan sebelum dia meninggal…”, ucapnya seraya memberiku sebuah kotak berwarna biru muda dengan pita berwarna hijau muda.
“Apa ini Kak…” tanyaku.
“Entahlah aku pun tidak tau… Buka saja Zah…”, perintah Kakakku.
“Baiklah…”, ucapku.
Saat kubuka hadiah dari Raihan itu, aku sangat senang sekali. Dia memberiku hadiah sebuah Al qur’an dengan cover berwarna biru muda, warna kesukaanku dan 2 buah kerudung berwarna biru muda dan hijau muda.
“Kerudung ini sangat indah Kak Raka…”, ucapku seraya menunjukkan kerudung dari Raihan.
“Sangat cocok denganmu Zah…”, ucapnya dengan tersenyum.
“Benarkah…?”, tanyaku.
“Benar,…”, ucapnya seraya mengangguk.
“Lihat Kak…”, ucapku seraya menunjukkan foto-foto yang ada di dalam kotak itu.
“Apakah ini Raihan…”, tanyaku pada Kakakku
“Iya…”, jawabnya seraya mengangguk.
“Lihat ini Kak…! Ternyata Raihan sering memfoto diriku”, ucapku kembali menunjukkan foto-foto itu.
“Orang-orang yang ada di sekelilingku cantik-cantik dan tampan”, ucapku lagi
“Impian terbesarku akan segera kumulai Kak…”, ucapku seraya memandang danau.
“Impian…?”, tanyanya.
“Ya… Impian terbesar yang dulu terpendam kini telah muncul kembali…”, ucapku.
“Kau puitis Zah…”, ucapnya seraya menunjukkan muka muramnya.
“Itu juga salah satunya…”, ucapku.
“Maksudnya…”, tanyanya dengan sangat bingung.
“Salah satu impianku dari banyaknya impianku…”, jawabku.
“Lalu impian terbesarmu apa…?”, tanyanya.
“Impian terbesarku adalah melihat orang-orang yang aku cintai dan sayangi meskipun hanya lewat foto saja. Yang menjadi impian terbesarku adalah membaca ayat-ayat suci…”, ucapku.
“Untuk mewujudkan impian terbesarmu itu, maka kau harus belajar dulu…”, saran Kakakku.
“Maukah Kakak membantuku…?”, tanyaku.
“Membantu apa…?”, tanyanya.
“Ah… Kakak mah dari tadi nggak bisa mencerna perkataanku dan banyak bertanya”, ucapku.
“Perkataan ya nggak bisa di cerna lah Zah… Kamu ada-ada aja deh… yang dicerna itu ya makanan lah…”, ucapnya.
“Maksudnya, Kakak itu dari tadi nggak faham sama apa yang aku katakan…”, ucapku.
“Kalau begitu kau juga nggak bisa mencerna candaan Kakak…”, ucapnya.
“Ah Kakak ini… jadi mau nggak nih…”, ucapku seraya memandangnya.
“Membantu apa…?”, tanyanya.
“Ya membantu mewujudkan Impian Zizah lah Kak…”, ucapku.
“Siap…”, ucapnya seraya hormat dan aku hanya tersenyum melihatnya.

Beberapa bulan telah berlalu dan kini aku sudah mulai pandai membaca al qur’an walaupun aku belum terlalu fasih dalam membacanya. Sekarang, aku juga mulai kembali bersekolah dan sekarang aku sudah kelas 2 SMA. Sekarang aku sudah bisa belajar dengan baik dan belajar seperti yang teman-teman lainnya. Impian-impanku yang dulu terpendam kini aku mulai mewujudkannya. Kini aku bisa menjadi penyiar radio yang cukup berbakat, penyair, dan juga penulis. Impian terbesarku pun untuk bisa membaca ayat-ayat suci telah aku wujudkan. Tetapi aku akan terus belajar dan terus belajar. Karena apa…? karena aku ingin mendo’akan orang-orang yang sangat aku sayangi dan aku cintai. Aku selalu berdo’a agar mereka berbahagia di sisi Tuhan yang maha kuasa. Setitik cahaya harapan dalam kegelapan, kini telah menjadi sebuah cahaya yang indah di dalam hidupku. Dulu, cahaya itu ibarat bintang yang nampak sangat kecil dan berkilauan di antara kegelapan langit malam. Tapi kini, cahaya itu telah menjadi mentari yang amat terang, yang mampu menyinari semesta alam. Dulu, sesuatu yang hanyalah sebuah angan-angan dan mimpi semata, kini telah menjadi kenyataan. Aku selalu percaya, bahwa Tuhan tidak akan pernah menguji umatnya di luar batas kemampuan umatnya itu. Tuhan selalu mempunyai rencana yang sangat indah di balik cobaan yang ia berikan itu. Skenario Tuhan sangatlah indah dan tidak pernah ada duanya. Tidak ada satu orang pun yang dapat menerka skenario darinya. Selalu ada kejutan-kejutan yang Tuhan berikan kepada umatnya. I’am always believe that every trial must be a wisdom. I’am very believe it…
“Raihan… apakah kau bangga kepadaku…? Apakah kau tersenyum di sana melihat diriku di sini yang telah mewujudkan mimpiku…?”, gumamku.

Sumber : www.cerpenmu.com

No comments:

Post a Comment