Friday, September 23, 2016

Setitik Cahaya Harapan Si Gadis Buta (Part 1)

Judul Cerpen: Setitik Cahaya Harapan Si Gadis Buta (Part 1)
Karya: Risma Salimatun
Kategori: Cerpen Islami, Cerpen Sedih, Cerpen Keluarga



Langit nampak sangat cerah berwarna biru muda dengan sentuhan-sentuhan awan lembut yang indah dan bumi sangat subur dengan rumput dan pohon-pohonnya yang berwarna hijau muda. Sebuah danau dengan air yang sangat jernih dan angsa-angsa cantik di atasnya. Angin berhembus dengan pelan, sehingga terasa membelai manja. Beraneka burung bernyanyi dengan merdu dan riangnya. Alam serasa sangat gembira hari ini, tapi semua itu berlainan dengan suasana hati Raka. Ya, seorang pemuda yang tampan dan pandai itu bersedih di antara kebahagiaan alam. Nampak wajahnya yang tampan itu berlinangan air mata. Hidungnya nampak berwarna merah karena sendari tadi dia menangis.
Isak tangisannya terdengar cukup keras karena kesedihannya itu. Berkali-kali dia menangis dengan sesenggukan seraya duduk di sebuah kursi panjang di tempat itu. Dia memang sering datang ke tempat itu. Karena tempat itu menyimpan banyak kenangan indah dalam hidupnya. Kenangan indah yang 7 tahun lalu tercipta, kini hanyalah tinggal kenangan… terlintas di benaknya, masa-masa indah 7 tahun yang lalu…

FLASHBACK…
7 tahun yang lalu…
“Assalamu’alaikum…”, ucap Raka saat memasuki rumahnya. Tetapi tidak ada seorangpun yang menjawab salamnya. Nampak rumahnya begitu sepi dan gelap. Suasana gelap ini segelap suasana hatinya saat ini. Hari ini adalah hari di mana usianya genap 12 tahun. Tetapi, tidak ada seorangpun yang mengucapkan selamat padanya, apalagi memberinya hadiah. Tetapi baginya hal yang terpenting dalam ulang tahunnya adalah do’a dari sahabat dan juga orangtuanya. Baru kali ini tidak ada seorangpun yang mengucapkan do’a untuknya dan bahkan kedua orangtuanya tidak ada di rumah.

Hari mulai malam, tetapi kedua orangtuanya belum juga pulang. Sepi, sunyi dan sedih yang menemaninya malam ini. Dia merasa ini adalah ulang tahunnya yang paling menyedihkan dan paling buruk baginya. Ting tong… suara bel rumahnya terdengar dan dia pun segera membukakan pintu.
“Surprise…”, ucap kedua orangtuanya dan teman-temannya serentak seraya membawa sebuah kue ulang tahun yang sangat indah.
“Oh my god…”, ucap Raka kaget. Ternyata kedua orangtua dan teman-temannya tidak lupa dengan ulang tahunnya. Mereka sengaja melakukan ini sebagai kejutan untuknya. Pesta berlangsung dengan sangat meriah dan menyenangkan. Raka sangat gembira dan bahagia dengan kejutan yang diberikan oleh orangtua dan sahabatnya itu.

Pada keesokan harinya, kedua orangtuanya mengajaknya ke suatu tempat yang kini menjadi tempat favoritnya. Tempat itu tidak jauh dari rumahnya dan tempat itu sangat asri dan indah. Sebuah danau yang cantik dan dihuni oleh banyak sekali angsa-angsa yang cantik dan sebuah bukit yang indah dengan rumput-rumput hijau. Mereka segera mendaki bukit itu dan melihat pemandangan yaang sangat indah. Setelah hari itu, mereka selalu pergi ke tempat itu untuk bermain setiap hari minggu. Raka merasa sangat senang sekali bisa bermain bersama kedua orangtuanya itu dan mendapatkan kasih sayang dari mereka. Hingga suatu hari, Ibunya mengandung lagi, sehingga mereka tidak bisa bermain lagi.
“Ibu, Ayah, ayo kita pergi ke bukit itu lagi…!”, ajak Raka pada kedua orangtuanya.
“Aduh Raka, Ibu kamu itu kan lagi hamil, jadi kamu pergi ke sana sendiri saja!”, ucap Ayahnya.
“Kalau begitu pergi sama Ayah saja…!”, pinta Raka.
“Ayah tidak bisa… Ayah harus menjaga Ibumu…”, ucap Ayahnya yang membuatnya begitu kecewa.

Hari demi hari berlalu dan berganti, rasa sedih selalu menyelimuti hati Raka. Sejak Ibunya mengandung lagi, perhatian orangtuanya semakin berkurang padanya. orangtuanya tidak memperhatikannya lagi. Apalagi, orangtuanya sudah tau bahwa anak yang dikandung Ibunya memiliki jenis kelamin perempuan sehingga orangtua Raka sangat menyayangi bayi yang ada dikandungan Ibunya itu. Raka merasa sangat sedih dan merasa benci kepada adiknya yang belum lahir itu. Hingga suatu hari, Ibunya melahirkan adiknya. Tapi sayangnya, Ibu Raka meninggal saat melahirkan adiknya dan keadaan adiknya itu buta. Hal itu membuat Raka begitu sangat membenci adiknya. Dia selalu menganggap kematiaan Ibunya itu karena kelahiran adiknya.

“Seperti itulah ceritanya Raihan…”, ucapku seraya menangis.
“Mengapa kau menangis Azizah?”, tanya Raihan ketika melihatku menangis.
“Kau tidak tau Han…?”, tanyaku.
“Tau apa Zah?”, tanyanya heran.
“Kau tidak tau kalau cerita yang tadi aku ceritakan padamu itu cerita tentang diriku…?”, ucapku dengan deraian air mata di pipiku.
“Hah…?”, ucapnya kaget.
“Kau tidak menyadarinya?”, tanyaku.
“Benarkah semua itu Zah?”, tanya Raihan padaku.
“Semua itu benar dan aku tau semua itu dari Kakakku sendiri…”, ucapku menjelaskannya pada Raihan.
“Sudahlah kau tidak perlu sedih Zah… mungkin Kakakmu hanya belum bisa menerima kepergian Ibumu…”, ucapnya mencoba menenangkanku.
“Tapi apa aku salah dalam hal ini? Bahkan aku lebih sedih dari Kakakku?. Karena aku tidak pernah tau seperti apa Ibuku dan bahkan aku tidak bisa melihatnya, walau hanya lewat foto. Aku buta Han… aku buta…”, ucapku seraya menangis tersedu-sedu.
“Zah, kau tak perlu sedih…!”, ucap Raihan mencoba menghiburku.
“Bagaimana aku tidak sedih Han?. Aku tidak bisa bertemu dengan Ibuku dan aku tidak bisa melihatnya. Kakakku sangat membenciku dan selalu menghinaku. Aku buta Han, aku tidak bisa melihat…”, keluhku.
“Tapi Ayahmu begitu menyayangimu Zah…”, ucap Raihan.
“Yah, Ayahku memang menyayangiku… tapi Kakakku sangat membenciku. Kenapa Tuhan menghukum aku seperti ini Han? kenapa? apa salahku Han, sampai Tuhan menghukumku seperti ini? apa? apa aku tidak berhak untuk bahagia?”, ucapku seraya terus menangis.
“Jangan katakan itu Zah… Tuhan sangat menyayangimu…”, ucap Raihan menghiburku.
“Tuhan tidak adil Han…”, ucapku lirih karena putus asa.
“Tidak Zah… Tuhan itu maha adil… Tuhan tidak akan menguji umatnya di luar batas kemampuaannya. Kau harus yakin itu Zah… kau harus yakin bahwa kau mampu melewatinya…”, ucap Raihan.
“Benarkah?”, tanyaku.
“Tentu saja”, jawab Raihan mantap.

Hari mulai malam, Raihan mengajakku pulang ke rumah. Raihan adalah sahabatku satu-satunya dan dia yang selalu perhatiaan padaku. Dia selalu mengajakku ke suatu tempat yang sangat nyaman dan sepertinya tempat itu sangat indah.

Sesampainya di rumah…
“Assalamu’alaikum…”, ucap kami serentak.
“Wa’alaikumsalam…”, ucap Kak Raka dengan nada ketus khasnya itu.
“Untuk apa kau bawa pulang gadis pembawa sial ini?”, ucap Kak Raka yang membuatku sedih.
“Kenapa Kakak berkata seperti itu Kak?”, tanyaku.
“Kenapa? Karena kau yang telah membunuh Ibuku…!”, bentak Kak Raka.
“Aku tidak membunuhnya Kak…! Aku juga ingin Ibu bisa hidup… tapi itu kehendak Tuhan Kak…”, ucapku seraya menangis.
“Jika kau ingin Ibu bisa hidup, maka seharusnya dulu kau tidak perlu dilahirkan…!”, ucapnya.
“Astaghfirullahhal’adzim… Tapi Kak, semua itu terjadi karena kehendak Tuhan… Jika aku boleh memilih, aku akan memilih untuk tidak dilahirkan agar kalian bisa hidup bahagia tanpa kehadiran diriku… Tapi apa dayaku, aku hanyalah makhluk ciptaannya dan dia lebih berkuasa…”, ucapku.
“Yah, semuanya sudah terjadi dan aku menyesal punya adik yang buta sepertimu…”, ucapnya dengan lantang.
“Kenapa kau tega berkata seperti itu kepadaku…? Apa yang bisa aku lakukan agar kau tidak marah lagi padaku…”, tanyaku seraya menangis.
“Kau tidak perlu hidup…”, ucapnya yang membuat hatiku hancur.
“Astaghfirullahhal ‘azim Kak Raka… kenapa Kakak berkata seperti itu… Apa aku tidak layak untuk hidup Kak?”, tanyaku dengan penuh derai air mata.
“Kau hidup hanya menyusahkan Ayah dan aku. Ayah selalu sibuk mengurusmu yang buta tanpa memperhatikanku. Sejak kau lahir Ayah tidak peduli padaku dan dia hanya peduli padamu…”, bentaknya.
“Ma’afkan aku Kak… Ma’af… tapi tolong, jangan kau benci aku Kak… aku mohon…”, ucapku seraya memegang kaki Kakakku.
“Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mema’afkanmu…”, ucap Kak Raka seraya mendorongku.
“Sudahlah Zah… kau tidak perlu mendengarkan ucapannya itu. Dia hanya marah sebentar dan kemarahannya akan hilang nanti…”, ucap Raihan.
“Apa aku harus mati Han, untuk menebus kematiaan Ibuku?”, tanyaku pada Raihan.
“Untuk apa? kematiaan itu bukan barang sewaan yang bisa kau tebus. Apa dengan kau mati, Ibumu akan kembali hidup? tidak kan…? Jika kau bunuh diri, kau sendiri yang akan menderita nantinya di akhirat, karena di hukum oleh Tuhan. Tuhan sangat membenci orang yang bunuh diri. Kau tau, Ayahmu akan sedih jika kau meninggalkannya. Yang perlu kau lakukan hanyalah berdo’a kepada Tuhan untuk Ibumu dan juga Kakakmu. Kau harus mendo’akan agar Ibumu bahagia di surga sana dan semoga Kakakmu segera diberikan hidayah oleh Tuhan. Agar dia mau menerima semua takdirnya…”, ucap Raihan menasihatiku.
“Ma’afkan aku Raihan…”, ucapku.
“Seharusnya kau harus meminta ma’af pada Tuhan bukan pada diriku. Kau telah berprasangka buruk padanya dan yang harus kau tau, Tuhan itu adil Azizah. Kau harus sabar menghadapi cobaan ini. Aku janji padamu, bahwa aku akan menemanimu dan selalu menyayangimu. Kau tidak boleh sedih, kau masih punya sahabat yang menyayangimu”, ucap Raihan seraya menghapus air mataku.
“Baiklah… tolong antarkan aku ke masjid dan kita solat berjama’ah ya Han…”, pintaku.
“Baiklah… itu baru Azizah sahabatku”, ucapnya.
Raihan adalah orang yang sangat baik dan sholeh. Dia yang selalu menasehatiku ketika aku berbuat salah dan dia yang selalu membantuku dalam melaksanakan ibadah. Dia dulu yang sudah mengajarkanku bagaimana caranya sholat dan berwudu dalam kondisiku yang seperti ini. Hingga sekarang aku bisa melakukannya sendiri. Suaranya sangat merdu saat dia adzan dan membaca ayat suci al-qur’an. Selama ini aku hanya bisa mendengarkannya membaca ayat suci al-qur’an dan aku hanya bisa hafalan. Aku sangat ingin sekali bisa membacanya secara langsung. Tuhan, aku mohon padamu, aku hanya ingin bisa membaca al-qur’an.

Setelah selesai sholat Isya dan mengaji…
“Han, suaramu sangat merdu sekali…”, pujiku.
“Ah… biasa saja”, ucapnya lembut.
“Sungguh suaramu sangat indah dan kau tau aku sangat menyukainya…”, ucapku lagi padanya.
“Tapi, bukankah kau belum pernah mendengarkan aku bernyanyi ya?”, tanyanya heran.
“Bukan saat kau sedang bernyanyi, tapi saat kau sedang melantunkan ayat-ayat suci itu”, jelasku padanya.
“Benarkah…?”, tanya Raihan.
“Aku ingin sekali bisa membaca ayat-ayat suci itu Han…”, harapku.
“Suatu saat nanti kau pasti bisa kok Zah… yang terpenting, kau selalu berdo’a kepada yang maha kuasa. Tuhan pasti akan selalu mendengarkan do’a-do’a dari hambanya”, ucapnya.
“Setitik cahaya harapan dalam kegelapan langit malam…”, ucapku.
“Hah…? Apa maksudmu Zah…?”, ucap Raihan dengan sangat heran.
“Tidak… bukan sesuatu yang penting Han… Hm… Raihan terima kasih ya, kamu sudah sangat baik kepadaku selama ini. Kau selalu menghiburku, membantuku dan mengingatkanku”, ucapku padanya.
“Itu sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang Shohib…”, ucapnya.
“Baiklah… ayo kita pulang”, ajakku padanya.

Saat di rumah…
“Azizah, kamu sudah makan belum nak?”, tanya Ayahku.
“Belum Yah…”, jawabku seraya menggelengkan kepalaku.
“Kalau begitu tunggu sebentar yah, Ayah akan ambilkan makanan untukmu…”, ucap Ayah.
“Tidak perlu yah… Zizah akan ambil makanan Zizah sendiri…”, ucapku.
Setelah mendengar perkataan Kakak tadi sore, aku bertekad untuk belajar melakukan hal-hal yang aku butuhkan sendiri. Aku ingin belajar mandiri dan aku tidak ingin selalu bergantung kepada orang lain. Meski itu sangat sulit, tetapi aku akan selalu berusaha untuk mandiri. Aku ingin perhatiaan Ayah juga terbagi kepada Kakakku. Dengan begitu, mungkin Kakakku tidak akan membenciku lagi. Aku berharap agar hubunganku dengan Kakaku menjadi baik. Aku ingin, keluargaku bisa hidup bahagia.

Seiring dengan berjalannya waktu, aku menjadi terbiasa melakukan banyak hal sendiri. Aku berusaha untuk menghafal letak-letaknya entah itu benda atau ruangan. Keberhasilanku itu tidak terlepas dari bantuan Ayahku dan juga sahabatku Raihan. Dia sudah sangat membantuku selama ini.

Saat makan siang…
“Yah, minggu depan aku mau Wisuda… Ayah dateng yah…”, ucap Kak Raka.
“Tapi, siapa yang akan menjaga adikmu…?”, tanya Ayah.
“Adik lagi, adik lagi…”, komentar Kakakku.
“Sudahlah Ayah… Ayah pergi saja ke acara Wisuda Kakak. Zizah nggak papa kok Yah sendirian di rumah. Kan masih ada Raihan yang nemenin Zizah…” ucapku.
“Tapi Zizah, Raihan sedang tidak ada di rumah. Raihan sedang pergi bersama orangtuanya dan mungkin akan lama sekali”, ucap Ayah yang membuatku kaget.
“Raihan pergi kemana Ayah? Raihan tidak berkata apapun padaku”, tanyaku.
“Dia bosan bersahabat denganmu…”, ucap Kakakku dengan nada yang datar.
“Tidak… Mungkin dia hanya ingin berlibur saja, dia pasti kembali kok”, ucap Ayahku.
“Ya sudahlah… Ayah jadi berangkat ke acara Kak Raka kan Yah…?”, tanyaku meyakinkan Ayah untuk datang.
“Baiklah, tapi kau harus janji yah, kalau kamu akan baik-baik saja di rumah. Kamu jangan keluar rumah sampai Ayah dan Kakakmu pulang…”, pinta Ayah.
“Baik Ayah… Zizah janji akan tetap di rumah sampai Ayah pulang”, ucapku.

Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari dimana Kakakku, Kak Raka akan mendapatkan gelar ‘Sarjana Hukum’. Ayah dan Kak Raka sedang bersiap-siap untuk berangkat ke acara Wisuda Kakak di kampusnya. Sebenarnya aku ingin sekali bisa ikut dengan mereka, tetapi tiket masuknya hanya untuk 1 orang, yaitu untuk Ayahku. Lagipula aku juga hanya akan merepotkan mereka jika aku ikut bersama mereka. Aku juga ingin agar Kak Raka mendapatkan perhatian penuh dari Ayah, walaupun hanya hari ini. Aku ingin melihat Kak Raka bahagia.
“Azizah… Ayah sama Kak Raka berangkat dulu ya… kamu hati-hati di rumah… Ayah akan segera kembali…”, ucap Ayah seraya mengelus kepalaku yang berbalut jilbab.
“Baik Ayah… aku janji akan baik-baik saja… Ayah janji ya, kalau Ayah akan segera kembali…!”, pintaku.
“Baiklah… Ayah janji”, ucap ayah seraya mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingkingku.
Entah mengapa aku merasa kata-kata Ayah ada yang terasa aneh. Hatiku merasa sangat cemas saat Ayah pergi. Tanganku terasa gemetar dan berkeringat dingin. Sampai-sampai tongkatku terjatuh karena tanganku sangat licin dengan keringat ini. Tubuhku terasa begitu lemas sekali dan rasanya tidak kuasa untuk berdiri lagi. Entah mengapa, hati kecilku berkata bahwa Ayah tidak akan kembali.
“Ya tuhan, tolonglah jaga dan lindungilah Ayah dan Kakakku… Semoga urusan mereka lancar dan mereka pulang dengan selamat…”, harapku.
Telah lama aku menunggku kepulangan mereka, tetapi mereka tak kunjung datang. Hatiku rasanya sangat cemas dan khawatir sekali. Entah mengapa hati kecilku selalu berkata ada hal buruk yang akan terjadi padaku. Aku mencoba untuk berdiam diri di ruang tamu sejak tadi, agar tidak terjadi hal buruk padaku seperti yang diisyaratkan hatiku. Yah, walaupun hal ini sangat membuatku bosan, tetapi aku berusaha agar tetap diam menunggu kepulangan mereka. Tiba-tiba Kakakku datang…
“Zizah…”, ucap Kakakku seraya memelukku dan menangis.
“Lho kok Kakak nangis sih Kak…? Oh aku tau, pasti Kakak menjadi lulusan terbaik kan Kak? Kakak pasti terharu kan?”, ucapku menerka tangisan Kakak.
“Zizah… ma’afkan Kakak… Zizah…”, ucapnya sedikit tidak jelas karena tangisannya.
“Ma’af untuk apa Kak…? Ayah mana Kak…?”, tanyaku karena sendari tadi tidak aku dengar suara Ayah.
Tiba-tiba terdengar suara mobil ambulan parkir di depan rumahku. Kakakku menangis semakin menjadi-jadi dan hal ini sangat membuatku bingung.
“Kak… Ada apa? Kenapa ada ambulan datang ke rumah? Siapa yang sakit Kak?”, tanyaku pada Kakakku yang terus menangis.
“Ayah Zah… Ayah meninggal…”, ucapnya.
“Apa Kak? Ayah meninggal…?”, tanyaku seraya duduk di lantai.
“Enggak kak itu tidak mungkin, tadi Ayah udah janji sama Zizah kalau Ayah bakal baik-baik saja. Kakak bercanda kan Kak? iya kan Kak? Kakak, tolong katakan padaku kalau Kakak becanda…”, ucapku seraya menangis.
“Kakak tidak bohong Zah… semua ini karena Kakak… Kakak yang salah Zah…”, ucap Kakakku.
“Ayah… Ayah dimana yah… Ayah…”, ucapku seraya berjalan mencari Ayah.
“Yang sabar ya mbak…”, ucap seseorang seraya menepuk pundakku.
“Tidak… Ayahku masih hidup… Ayahku pasti pulang,…”, ucapku tidak percaya.
“Ma’afkan Kakak Zizah, semua ini salah Kakak. Karena kakak yang ceroboh, jadi kita kecelakaan dan Ayah luka parah…”, ucap Kakaku seraya menyandarkan kepalaku ke dadanya.
“Enggak… aku pasti sedang bermimpi… semua ini tidak nyata…”, ucapku.
“Ma’af Zah… Ma’af…”, ucapnya lagi.
“Tidak… itu tidak mungkin…?”, teriakku.
“Ma’afkan Kakak Zah… Ma’af…”, ucapnya.

Sudah 1 minggu kepergian Ayah, Kak Raka menjadi sangat murung. Aku tidak tau kenapa dia sangat murung begitu. Aku mencoba untuk membujuknya agar dia mau bercerita padaku. Tapi, dia hanya mengatakan kata ‘ma’af’ tanpa mau menjelaskan apa yang telah terjadi. Sepanjang hari dia hanya menangis dan terus menangis. Hingga suatu malam Kakakku menuntunku ke teras rumah dan duduk di depan rumah.
“Zizah… Kakak mau bicara sama kamu…”, ucapnya.
“Ada apa kak? Apa yang Kakak ingin katakan?”, tanyaku heran.
“Ma’afkan Kakak Zah… Ma’af…”, ucapnya seperti ucapan yang biasa ia ucapkan sebelumnya.
“Ada apa kak? kenapa Kakak selalu mengatakan itu? tolong jelaskan pada Zizah Kak, apa yang sebenarnya terjadi?”, tanyaku heran dengan ucapannya itu.
“Ayah meninggal karena Kakak… Karena Kakak yang ceroboh jadi kita kecelakaan dan Ayah luka parah lalu meninggal… Karena Kakak terlalu bahagia dengan kelulusan Kakak, jadi Kakak hilang kendali… Bahkan Kakak sempat mengajak Ayah untuk berfoto seraya menyetir mobil… tolong ma’afkan Kakak Zah… Kakak tidak sengaja… Kakak menyesal karena telah melakukan hal yang ceroboh itu…”, ucapnya seraya menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah Kak, itu bukan salah Kakak… semua ini bukan karena Kakak… semua ini musibah…”, ucapku menenangkannya.
“Tolong jangan benci sama Kakak Zah… Kakak minta ma’af…”, ucapnya seraya memegang tanganku.
“Aku tidak mungkin benci sama Kakak…aku akan tetap sayang sama Kakak. Yang aku minta, tolong Kakak jangan benci sama Zizah atas kematian Ibu Kak…”, ucapku.
“Ma’afkan Kakak Zah… Tidak seharusnya Kakak benci sama kamu… Kamu adalah adik kakak yang paling baik…”, ucapnya seraya memelukku.
“Kakak ini… ya jelaslah kalau aku adalah adik Kakak yang paling baik, kan cuma aku adik Kakak…”, ucapku seraya tersenyum.
“Kakak janji, Kakak akan menyayangi kamu… Kakak akan selalu menjaga kamu Zah…”, ucapnya.
“Baiklah Kak… lagi pula cuma Kakak yang sekarang ini Zizah punya”, ujarku.
“Hm… cuma Kakak? Lalu Raihan gimana? Nggak kamu anggap…?”, tanyanya.
“Tentu saja aku menganggapnya. Dia adalah sahabatku satu-satunya dan dia yang selalu perhatian padaku”, ucapku.
“Dimana dia sekarang Zah…?”, tanyanya.
“Entahlah Kak, aku pun tidak tau dimana dia berada…”, ucapku.
“Kalian pacaran ya…?”, tanya Kak Raka.
“Untuk apa aku pacaran Kak… Tidak ada gunanya bagiku dan lagi pula, siapa yang mau pacaran dengan gadis buta sepertiku”, ucapku.
“Kau itu cantik, baik dan sholehah Zah…”, puji Kakakku.
“Tapi aku buta Kak…”, ucapku lirih.
“Tapi, aku lihat Raihan begitu menyayangimu Zah… mungkin dia suka padamu Zah…”, ucap Kak Raka.
“Kalau seperti itu, lalu kenapa? lagi pula, untuk apa aku pacaran… lagipula, pacaran kan tidak dianjurkan oleh Islam. Aku percaya kok Kak kalau dia jodohku, maka Tuhan akan mempersatukanku dengannya… Jodoh itu ada di tangan Tuhan Kak…”, ucapku.
“Jodoh memang ada di tangan Tuhan, tapi jika kau tidak memintanya, maka jodoh itu akan tetap ada di tangan Tuhan…”, ucap Kakakku.
“Aku menintanya, hanya saja Tuhan akan memberikannya jika waktunya telah tiba Kak…”, ujarku.
“Baiklah… Aku selalu kalah kalau berdebat denganmu,…”, kata Kakakku menyerah.
“Aku hanya berharap, agar Raihan tetap ada di sisiku dan selalu menemaniku… Walaupun jika nanti aku tidak berjodoh dengannya…”, harapku.
“Aku akan selalu ada di sisimu Zah…”, ucap seseorang yang amat aku kenal.
“Raihan… benarkah itu kau…?”, tanyaku untuk meyakinkan dugaanku.
“Ya… Ini aku Zah… Ma’afkan aku yang telah pergi tanpa berpamitan denganmu…”, ucapnya seraya menghampiriku.
“Hm… Sang Putri dan Pangeran sepertinya nampak sedang bahagia… Ya sudahlah, pengawal akan pergi…”, ucap Kakaku menggoda kami dan pergi.
“Nampaknya kau dan Kakakmu sudah baikan…? Petir apa yang menyambarnya? Atau kepalanya terbentur tembok mungkin?”, tanya Raihan heran melihat tingkah Kakakku.
“Dia baik-baik saja dan dia seperti itu bukan karena petir atau kepalanya terbentur. Hidayah telah datang menyinari hatinya yang dahulu gelap. Kini hatinya telah kembali terang…”, ucapku seraya tersenyum.
“Baguslah kalau begitu… ngomong-ngomong kau baik-baik saja kan Zah…?”, tanyanya.
“Aku baik-baik saja Han… Bagaiman denganmu dan keluargamu…? Kau pergi kemana beberapa hari ini?”, tanyaku dengan sangat heran.
“Aku pergi ke Singapura bersama orangtuaku Zah…?”, ucapnya dengan nada yang berbeda.
“Kau berlibur disana…?”, tanyaku.
“Oh… Aku tidak berlibur…”, jawabnya.
“Lalu kenapa kau pergi kesana?”, tanyaku heran dengan jawabannya.
“orangtuaku sedang ada urusan disana…”, ucapnya dengan suara lirih.
“Kenapa kau ikut dengan mereka sedangkan kau tidak ada urusan apa-apa…? Seharusnya kau tinggal di sini saja bersama aku dan Kakakku dan kau tidak akan kelelahan seperti itu…”, ujarku ketika mendengar perkataannya yang selalu lebih pelan dari biasanya.
“Em… nggak papa kok… lagi pula, disana aku bisa membantu Ayah dan Ibuku…”, ucapnya lagi.
“Oh… begitu, lalu kenapa kau tidak memberi tahuku bahwa kau akan pergi…?”, tanyaku.
“Em… soalnya aku terburu-buru dan semua itu juga mendadak, jadi aku tidak sempat memberi tahumu… Ma’afkan aku Zah…”, ucapnya serasa dia merasa sangat bersalah.
“Untuk apa kau meminta ma’af seperti itu… aku tau kok… tapi sepertinya kau sedang sedih… ada apa Han?”, tanyaku pada Raihan karena aku merasa ada yang sedikit berbeda dengan ucapannya.
“Oh… aku tidak apa-apa kok Zah… Hm… ngomong-ngomong Ayahmu dimana Zah…?”, tanya Raihan.
“Lho kok kamu nangis sih Zah…? ada apa?”, tanyanya lagi saat melihatku menagis.
“Ayahku sudah meninggal Han…”, ucapku seraya menangis.
“Innalilahiwainailahirojiun… Kapan Zah,…?”, tanyanya.
“Beberapa hari yang lalu Han…”, jawabku padanya.
“Bagaimana itu bisa terjadi Zah…?”, tanyanya.
“Waktu itu, Ayah dan Kakakku sedang pergi ke acara wisuda Kakakku. Saat perjalanan pulang, mereka kecelakaan dan Ayahku terluka parah. Saat di bawa ke rumah sakit, Ayahku sudah meninggal. Aku tau setelah jenazah Ayahku di bawa pulang, dan Kakakku menangis di pelukanku. Sejak saat itu sikap Kakakku berubah padaku, dan dia berjanji padaku, bahwa dia akan selalu menyayangiku dan menjagaku…”, jelasku padanya.
“Baguslah kalau begitu… Dengan begitu, aku akan lebih tenang saat meninggalkanmu…”, ucap Raihan yang membuatku kaget.
“Pergi…? Pergi kemana Han…? Mengapa? Apa kau tidak mau bersahabat denganku lagi?”, ucapku.
“Bukan begitu Zizah. Tetapi, jika suatu hari aku ada kepentingan seperti kemarin, aku bisa lebih tenang meninggalkanmu karena ada Kakakmu yang menjaga dan menyayangimu”, jawab Raihan.
“Oh begitu…”, ucapku.
“Kau yang sabar ya Zah. Ayahmu pasti sangat bahagia di sisi Tuhan dan orangtuamupun pasti bahagia melihat anak-anaknya yang sudah akur…”, ucapnya seraya mengelus pundakku.
“Tentu… Aku bukanlah wanita yang lemah. Seperti namaku, aku adalah wanita yang kuat jadi aku yakin bahwa aku mampu untuk menjalani semua ini. Aku yakin ketika langit cerah datang, tiba-tiba Tuhan memberiku hujan, lalu dia pasti akan memberiku sebuah pelangi nan indah untukku. Kini aku pun sangat bahagia, karena Kakakku sudah tidak membenciku dan bahkan dia kini menyayangiku…”, ucaku seraya menghapus air mataku.
“Ya sudah, kamu masuk ke dalam lalu tidur. Hari sudah mulai malam, tidak baik kalau kita tetap di sini…”, ucapnya.
“Baiklah… Tidur yang nyenyak Han…”, ucapku seraya masuk ke Rumah.
“Tentu… Kau juga Zah… Impian terbesarmu akan segera kau dapatkan Zah…”, ucapnya yang membuat langkah kakiku terhenti.
“Maksudmu…?”, tanyaku dengan sangat heran.
“Bukannya kau bermimpi untuk bisa membaca ayat-ayat suci…?”, tanyanya.
“Iya… aku sangat berharap sekali Han… tapi itu rasanya tidak mungkin karena aku buta Han…”, jawabku.
“Impianmu akan segera terwujud Zah…”, ucapnya lagi.
“Benarkah?”, tanyaku.
“Sungguh… kau akan menggengggam mimpimu itu Zah…”, ucapnya.
“Semoga Tuhan mengabulkan do’a darimu itu Han…”, ucapku dengan tersenyum.



Sumber : www.cerpenmu.com

No comments:

Post a Comment