Cerpen Karangan: Margareta Vidya Riswanti
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Islami
Banjiran cemooh mengalir, mengiringi langkahku yang kurasa semakin berat. Dan aku hanya menjawabnya dengan memalingkan wajahku. Aku sudah sampai luar! Aku ingin cepat-cepat pergi dari kantor ini. Sungguh kantor yang menyebalkan!
Semburat jingga tersirat mengisi langit sore. Matahari beristirahat setelah perjalanannya hari ini. Suara adzan baru saja selesai dikumandangkan, meninggalkan bekas-bekas gema di sudut jalan Desa Miraga. Rumah berukuran kecil tampak kontras dengan bangunan di sekitarnya. Pemilik rumah kecil itu, aku. Saat ini aku duduk di atas kursi plastik yang kudapat saat memenangkan sebuah doorprize. Harum aroma teh dan pisang goreng menjadi pemanis senja di rumah kecil ini.
“Setiap waktu selalu sama. Hari, bulan, tahun yang berlalu selalu menertawakanku.” Itulah sederet kalimat yang tak pernah menghilang dari catatan memoriku. Terkadang aku menyesal mengapa setiap membuka mata, aku masih ada di dunia ini. Aku berharap Tuhan segera mengambil nyawaku dan aku bisa tenang bersama-Nya, bukannya stress di tempatku berada sekarang.
“Woy!” tegur seseorang yang hampir membuatku menjatuhkan gelas yang kupegang.
“Sepertinya aku mengenal suara itu,” ucapku dalam hati.
Dengan sigap aku menoleh. Dan benar saja, orang tadi adalah Tanto. Penampilan Tanto tak jauh berbeda dariku, sederhana dan mencerminkan bagaimana keadaan orang yang kehidupan sehari-harinya hanya mengandalkan uluran tangan orang lain. Hanya saja perawakan yang bongsor membuatnya sangat kontras jika berada di dekatku. Padahal, usianya terpaut hampir setengah dasawarsa lebih muda dariku.
“Lu ngapain bro ngelamun?” ucap Tanto sembari melepas alas kakinya dan melemparnya begitu saja. Aneh, padahal di depan pagar sudah kupasang tulisan:
‘ALAS KAKI HARAP DILEPAS. UNTUK MENJAGA KEBERSIHAN RUMAH.
TTD, IJAN’
Tujuan utamaku memasang tulisan itu hanya karena aku malas membersihkan lumpur-lumpur yang sebelumnya terperangkap di sandal. Apalagi jika disertai kotoran hewan. Dan selama ini, Tantolah yang selalu lupa akan perintah itu.
“Kayak gak tau kebiasaan gue aja,” ucapku jengkel sambil meletakkan gelas yang sedari tadi kupegang.
“Pengangguran? Lu ngapain sedih? Gue aja bahagia. Pengangguran tetep bisa makan tuh,” ucapnya sambil mencomot pisang goreng di depanku.
“Tapi sampai kapan kita cuman bergantung sama belas kasihan mereka?” ucapku dengan nada yang semakin meninggi.
“Sabar dulu bro,” ucapnya yang tidak terlalu jelas karena sambil mengunyah makanan.
“Ya mungkin itu jalan yang Tuhan kasih buat kita. Gak selamanya orang harus kerja kan bro?” sambung Tanto.
Ucapan Tanto tadi menjadi penutup obrolan singkat senja ini. Memang, Tanto selalu bersikeras bahwa menjadi pengangguran adalah jalan Tuhan untuknya. Dan selalu saja aku kalah debat dengannya.
“Apa benar Tuhan menghendaki aku menjadi pengangguran?” batinku.
“Tidak mungkin! Tuhan pasti punya rencana untukku. Dasar manusia, pantas saja kau betah menjadi pengangguran, jalan Tuhan saja tak pernah kau cari,” ucapku dalam hati.
Dan semua percakapan dengan hatiku ini tiba-tiba membulatkan tekadku untuk menuju kehidupan baru, mencari pekerjaan ke kota.
Tuhan, berkati Ijan ya!
“Hey, rupanya kau lagi. Tak bosan berjumpa denganku?” ucap seseorang berbadan besar.
“Serahkan semua! Kau tak pantas memilikinya. Kau kan pengangguran, sedangkan aku kan bekerja,” sambungnya yang membuatku kembali menelan ludah entah untuk keberapa kalinya.
Dengan gagah lelaki berbadan besar itu semakin mendekatkan pisaunya ke arahku. Dekat, semakin dekat, dan…
“Argh!” teriakku panjang.
“Stress mas?” ledek seorang ibu-ibu yang membuatku gelagapan dan terbangun seutuhnya.
Aku memastikan semuanya baik-baik saja. Dan setelah semua terasa aman, aku menghembuskan nafas lega. Semua kejadian tadi hanya mimpi. Haha, terdengar sangat lucu. Aku setengah terpekik saat membayangkan kejadian tadi. Setelah beberapa menit, aku mulai bisa menguasai diri dan kembali duduk dengan tenang di bangkuku.
Semilir angin masuk melalui celah-celah jendela di bus kota dan menggodaku untuk membuka jendela semakin lebar. Dengan perlahan kubuka jendela itu. Susah juga, karena kaca pada jendela itu sudah pecah di beberapa bagian. Setelah jendela terbuka seutuhnya, aku tak henti-hentinya tersenyum sambil menikmati udara-udara yang berebutan masuk ke rongga hidungku. Hari ini adalah suatu momentum sejarah bagiku. Karena hari ini juga, Ijan sang pengangguran akan segera mencari pekerjaan. Selamat tinggal pengangguran! Selamat tinggal desa! Selamat tinggal, Tanto!
“Terminal terminal!” teriak kondektur yang membuatku dengan sigap bersiap-siap untuk turun.
Saat bus berhenti, satu persatu para penumpang meninggalkan bus itu, termasuk aku. Rasanya aku ingin segera melepas kepenatanku setelah bau ikan, kotoran ayam, dan keringat manusia bercampur dengan santainya di dalam bus itu.
“Yogyakarta, aku datang!” teriaku dengan sangat bersemangat setelah aku menginjakkan kakiku di tanah Yogyakarta ini.
“Aku berharap kota ini dapat membuka peluang baru bagiku,” ucapku dalam benakku.
Tanpa basa-basi, aku segera mengeluarkan stopmap bersampul batik dari tasku. Isinya tidak terlalu berharga. Mungkin yang bisa kubanggakan hanyalah ijasah, walaupun hanya tamatan SD. Dengan langkah tegap aku segera menuju sebuah gedung yang jaraknya sekitar beberapa meter dari tempatku berdiri sekarang.
“Semoga saja kantor itu membuka lowongan pekerjaan,” ucapku dengan penuh harap.
Semangat yang membara membuatku merasa perjalanan sangat jauh. Hingga aku tak sadar di depanku ada batu. Aku tersandung dan hampir terjungkir. Untung saja tiang penyangga spanduk iklan suatu merk rokok itu dapat dengan spontan kuraih.
“Huh, hampir saja,” gumamku.
Aku pun melanjutkan perjalananku. Setelah sekitar seperenam jam aku berjalan, tulisan ‘CIKRA GROUP’ yang terpasang rapi berderet di pagar gedung megah itu menyambutku.
“Akhirnya sampai juga.” ucapku sambil menghentakkan kakiku ke tanah.
Aku membayangkan apa yang akan terjadi dengan diriku di sini. Aku akan bekerja. Aku akan mendapat gaji setiap bulan. Aku mempunyai pekerjaan! Semua bayangan-bayangan seturut pekerjaan memenuhi pikiranku. Aku merasa menjadi orang paling bahagia di dunia ini.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” ungkap seseorang yang bersuara berat.
“Emm.. Saya ingin melamar pekerjaan pak. Apakah ada lowongan pekerjaan?” balasku sambil menyodorkan stopmap tadi kepada bapak itu.
“Sukijan Apriyanto, pendidikan terakhir SD…” ucap bapak tadi sambil membaca isi di dalam stopmap itu.
Aku menunggunya dengan tak sabar. Sepertinya lama sekali ia mencermati setiap bagian dalam stopmap itu, termasuk label harga stopmap yang belum sempat kulepas.
“Mari, silahkan masuk,” ucap bapak itu yang langsung kusambut dengan badan tegap.
Aku pun mengikuti langkah bapak tadi menuju sebuah ruangan yang di ambang pintunya terpasang tulisan:
‘DRA. HENDRAWATI CIKRA ANAYA, MM’
– DIREKTUR –
Rupanya aku akan bertemu dengan pemilik Cikra Group ini. Aku merasa sangat senang. Setelah bapak tadi mengakhiri sebuah perbincangan kecil dengan wanita itu, ia menyerahkan stopmapku kepada sang direktur.
“Oke cukup terimakasih pak, bapak bisa meninggalkan tempat ini.” ucap lembut wanita itu kepada bapak yang sedari tadi sibuk menjelaskan bagian per bagian isi stopmapku.
“Baik Bu!” jawab sang bapak dengan nada berbanding terbalik dengan wanita itu.
Wanita tadi, Bu Hera namanya, segera duduk di depanku. Layaknya seorang bos, ia mulai melontarkan beberapa pertanyaan padaku. Wawancara! Ya, aku diwawancarai!
“Baik, mulai besok kamu bekerja di sini, Satpam?” ucap Bu Hera menutup wawancara yang berlangsung sekitar seperempat jam itu.
“Benar, Bu?” ucapku dengan nada tak percaya.
“Asal kamu jaga kepercayaan perusahaan ini,” jelasnya sambil mengetuk-ketuk mejanya yang terbuat dari kaca.
“Siap, Bu!” balasku tegas sambil setengah bangkit dari kursi.
Aku melangkahkan kakiku ke luar ruangan itu dengan bahagia. Aku akan memecahkan semua omongan orang padaku. Ijan bisa kerja! Mulai besok aku akan bekerja! Dan malam ini, adalah malam terakhirku menjadi pengangguran.
—
“Tidak, saya tidak melakukannya!” teriakku dengan suara menahan air mata.
“Gimana mungkin? Orang ini melihat sendiri kau mengusir tamu kita! Bukti pun ada!” bela seorang bapak berkumis tebal.
Sudah sekitar satu jam aku disidang di ruangan ini. Kesalahan apa yang aku perbuat? Tak ada! Aku tak merasa melakukan sesuatu. Lantas mengapa orang-orang di sekitarku menatap aku dengan wajah geram? Dan bapak berkumis tadi tak lain adalah orang yang sama saat aku melamar pekerjaan di sini.
“Mengapa tak ada yang percaya denganku? Aku tak melakukannya! Aku tak bermaksud mengusirnya. Justru dia sendiri yang memulai dengan kekerasan. Aku hanya membela diriku!” batinku.
Andai saja bisa dengan mudah aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan sedari tadi. Namun setiap kali aku mencoba berbicara, rasanya mulutku seperti sangat rapat, terkunci. Ya Tuhan, kejadian apa lagi ini? Tiga minggu lalu baru saja aku diterima di sini. Gaji untuk bulan ini saja belum dapat kuterima.
“Ah, santai saja Jan, kata orang, kebenaran yang bakal menang,” batinku menghibur diri sambil membenarkan posisi dudukku.
Aku mulai menguasai emosiku. Namun mentalku tiba-tiba hancur saat seorang wanita memanggilku,
“Sukijan Apriyanto,” panggilnya yang berjarak tak terlalu jauh denganku.
“Saya!” jawabku tegas sambil menarik celana yang tersangkut saat aku berdiri tadi.
“Saya sudah mendengar semua dan bukti-bukti sudah cukup kuat untuk…” ucapnya terpotong ketika bapak berkumis tadi datang kembali ke sini.
“Untuk mengeluarkan kamu dari sini,” sambung bapak berkumis itu dengan tegas dan seketika membuatku seperti mati rasa.
“Pak! Kalaupun saya melakukannya, itu kan hanya sama satu orang! Lagian masih banyak tamu lain yang bisa datang ke sini!” ucapku tiba-tiba.
Bodoh! Bodoh kamu Ijan! Berani sekali di saat suasana genting, kau ucapkan kalimat itu. Namun semua itu datang secara tiba-tiba karena emosiku sudah tak terkontrol.
“Sepertinya memang kita tak salah untuk memecatnya, Pak,” Ucap wanita tadi lirih kepada bapak berkumis yang baru kuketahui namanya, Eko.
“Pak, Bu, saya bersumpah tidak pernah melakukan semua ini!” belaku
“Pak, bawa dia ke luar, sekarang!” teriak wanita itu sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah pintu keluar.
“Ayo! Tempatmu tak lagi disini!” bentak Eko yang tak mau kalah tegasnya dengan wanita itu, Hana.
Dengan terpaksa aku berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu keluar. Aku benar benar tak habis pikir, Tuhankah yang merencanakan ini? Kenapa rencana-Mu sungguh menyesatkanku? Kenapa kau tak bersikap adil padaku? Kenapa? Kenapa? Dan sederet kenapa-kenapa yang lain menghantui perjalananku menuju pintu keluar.
“Emang dasarnya pengangguran aja sok kerja,”
“Lu mau kaya? Nasib lu aja yang kagak bejo! Hahaha,”
“Jadi satpam aja gaya banget,”
Banjiran cemooh mengalir, mengiringi langkahku yang kurasa semakin berat. Dan aku hanya menjawabnya dengan memalingkan wajahku dari mereka. Aku sudah sampai luar! Aku ingin cepat-cepat pergi dari kantor ini. Sungguh kantor yang menyebalkan!
Aku berjalan ke luar dari kompleks gedung ‘Cikra Group’ itu. Dari ujung mataku, kulihat orang-orang mulai kembali sibuk dengan pekerjaanya, setelah tadi heboh karena pemecatanku.
“Aku benci dunia! Aku benci manusia! Aku benci kehendak-Mu Tuhan!” batinku. Semua barang yang menyambut langkahku aku tendang menjauh. Emosiku sangat tak terkontrol. Aku merasa lebih baik aku akhiri saja hidupku.
“Tuhan! Kau tak adil! Mengapa jalan hidupku tak semulus mereka? Kau tak sayang denganku? Mengapa semua yang Kau kehendaki untukku sangat buruk? Apa kau tak tersentuh melihatku dicela oleh manusia-manusia bertopeng itu?” ucapku dalam hati.
Dan sekarang, aku tak memiliki niat untuk bekerja. Mungkin benar kata Tanto, jalan hidupku memang seorang pengangguran. Seorang lulusan SD memang tak pantas mendapat pekerjaan walau menjadi satpam.
“Tuhan sudah puas menertawakanku? Aku tak bisa apa-apa sekarang! Hah? Seburuk Itukah Kehendak-Mu Tuhan?” amarahku.
Rerontokan daun-daun yang terbawa angin menjadi pemandangan cukup menarik untuk mengisi senja ini. Dan aku termenung sambil memandang sebuah plakat besar di depanku.
‘PANTI ASUHAN KASIH IBU’
Inilah aku sekarang. Diriku delapan tahun yang lalu sudah berubah. Setelah dipecat, aku berniat untuk bunuh diri. Namun semua niatku itu terhalang ketika seorang wanita dengan panik mencegahku. Aku sempat tak menghiraukannya. Namun apadaya, aku kalah dengannya. Dan wanita itu, Dewi namanya, adalah pendamping yang Tuhan berikan untukku.
Sudah hampir tujuh tahun aku mengabdi di Panti Asuhan ini. Bukan apa-apa, aku hanya membantu istriku untuk melanjutkan karya keluarganya. Keluarga Dewi bukan seorang yang kaya, namun mereka berjiwa sosial tinggi. Mereka membuka Panti Asuhan ini dengan tujuan untuk membantu merawat anak-anakan tak terasuh.
“Jangan ngelamun, nanti kesambet,” tegur seseorang di belakangku dan tak lain adalah Dewi.
“Iya iya,” balasku singkat sambil tersenyum lebar.
“Ayo mas, udah ditunggu anak-anak!” ajak Dewi dengan nada tak sabar.
Aku pun melangkahkan kakiku menuju dalam aula panti. Dan di tempat aku berdiri sekarang, terdapat kurang lebih 25 anak malang yang sudah 3-7 tahun kurawat bersama istriku.
“Bapak!” ucap Hima, salah seorang penghuni panti yang masih berumur 3 tahun.
Hima sendiri dititipkan orangtuanya kepada kami karena mereka tak mempunyai cukup biaya untuk menghidupi Hima.
Di dinding tembok sebelah kananku, terpajang sebuah banner bertuliskan:
PERAYAAN 7 TAHUN BERDIRINYA
‘PANTI ASUHAN KARYA IBU’
YOGYAKARTA, 16 OKTOBER 2015
Inilah rencana Tuhan bagiku. Setelah bertahun-tahun aku menjadi pengangguran, sempat mendapat pekerjaan namun akhirnya dipecat. Ini yang Tuhan kehendaki bagiku. Menjadi pengurus panti. Walau tak mudah, ini tantangan bagiku. Dan saat itu juga, aku menarik semua ucapanku,
“TUHAN, TERIMA KASIH! RENCANA-MU TAK TERDUGA!” ucapku.
Sumber www.cerpenmu.com
thanks:)
ReplyDelete