Saturday, September 24, 2016

The Angel of Death

Judul Cerpen: The Angel of Death
Cerpen Karangan: Shandez Darlene
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Fantasi (Fiksi)


Ruangan besar berbentuk persegi panjang itu tampak sunyi. Hanya ada suara tangan beradu dengan papan keyboard dan suara jam yang berdetik tanpa henti.

Seorang laki-laki duduk di ujung ruangan. Sebuah pulpen ia taruh di selipan telinga. Kerutan di dahinya terlihat dengan jelas, tanda ia sedang berpikir keras.

Suara yang sudah sunyi, bertambah sunyi lagi saat pintu buram berdecit, tanda ada orang yang membukanya. Seorang laki-laki berparas wajah tua melihat orang-orang di sana dengan tatapan tajamnya. Membuat semuanya langsung duduk tegak, dan memasang telinga baik-baik.

Pak Bram, pemimpin perusahaan cabang itu membenarkan kacamatanya yang melorot dengan jari telunjuk. Sorot matanya yang terkenal tajam melihat karyawan-karyawan di sana.

Pintu buram itu berdecit lagi untuk kedua kalinya. Seorang perempuan manis dengan pakaian rapi terlihat berdiri tepat di belakang Pak Bram.

“Meli akan menjadi karyawan baru di sini, sebagai pengganti Felin yang baru saja berhenti berkerja. Saya harap, kalian semua dapat berkerja sama dengan baik.” Suara berat milik Pak Bram terdengar menggema di ruangan besar persegi panjang itu.

Semua karyawan menganggukkan kepala sekilas termasuk laki-laki yang duduk di ujung ruangan. Perempuan manis tadi sudah duduk di kursi yang kosong. Kursi yang sebelumnya diduduki oleh Felin.

Mata terang Meli sempat melihat laki-laki yang duduk di ujung ruangan seraya tersenyum tipis, sebelum dirinya mengerjakan tugas-tugas yang harus ia kerjakan.



Laki-laki berambut pendek sibuk mengaduk-aduk minuman dingin yang sudah berembun. Mata gelapnya juga sibuk menelusuri kantin kecil milik kantor tempat kerjanya.

Kursi-kursi lain di meja itu kosong. Semua rekan-rekan kerjanya memilih untuk tidak duduk dengannya. Itu memang sudah biasa, setiap hari selalu seperti itu.

Tapi, sepertinya hari ini tidak. Perempuan yang menurut laki-laki itu tidak asing sudah duduk di depannya tanpa meminta izin. Sebuah senyuman hangat ditujukan ke laki-laki itu.

Perempuan manis itu meletakkan makanannya di meja, “namaku Meli. Namamu, siapa?”

Sebaris kerutan tampak di dahi laki-laki itu. Sebuah pertanyaan muncul di otaknya. Siapa perempuan ini? “Namaku Astha. Salam kenal.”

Perempuan manis itu mengangguk sekilas. Mata terangnya menatap Astha lekat-lekat. Sebuah seringai di tampak saat Astha sedang menatap makanan di depannya.

Astha mengangkat kepalanya. “Karyawan baru?”

Meli menangkat alisnya, bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan laki-laki itu. “Tentu saja, bukannya kita satu bagian? Tadi kan aku sudah diperkenalkan oleh Pak Bram.”

Mulut Astha terbuka sedikit. Pantas saja, wajah perempuan itu tampak tidak asing baginya. Sepertinya, penyakit lupanya mulai kambuh.



Perempuan bermata terang itu terdiam, tanpa bergerak sedikitpun. Mulutnya juga terkatup rapat. Lalu, sebuah senyuman miring tampak di wajah manisnya itu.

Ruangan gelap yang hanya memiliki lampu kecil sebagai penerangan tidak membuatnya merasa terganggu. Jari-jari tangannya yang lentik sibuk bermain di pinggir sofa yang sedang ia duduki.

Lampu kecil yang menjadi satu-satunya penerangan ruangan itu tiba- tiba mati. Ruangan besar itu menjadi gelap gulita. Angin dingin berhembus dengan kencang, dan menusuk kulit tipis perempuan manis itu.

Brak..

Jendela yang tadinya terbuka lebar, tiba-tiba tertutup karena angin yang sangat kencang. Perempuan manis itu mengambil gelas kecil yang ada di depannya, lalu meminum cairan yang ada di dalam sampai tak tersisa satu tetes pun.

Cahaya yang sedikit silau keluar perlahan-lahan dari benda tipis berbentuk persegi panjang. Sebuah gambar yang bergerak-gerak juga ikut tampil di sana.

“Sudah hampir berhasil atau belum?” Suara aneh juga ikut keluar bersamaan dengan seseorang di dalam sana membuka mulutnya.

Perempuan manis itu mengangguk dengan semangat seraya tersenyum penuh kemenangan. “Saya yakin, kali ini akan berhasil tanpa gangguan apapun.”



Matahari yang bersinar terang seakan-akan menyambut semua orang yang akan memasuki gedung tinggi yang menjulang ke langit. Gedung ciri khas ibu kota Indonesia, Jakarta.

Seorang perempuan manis berjalan santai dengan menggunakan baju rapi khas orang kantoran. Sebuah tas selempang ia biarkan menggantung di bahu kirinya.

Ia tersenyum tipis saat menemukan pintu besar yang berputar- putar. Langkah kakinya terasa sangat pasti, hak tingginya menginjak lantai dengan penuh semangat.

Meli tersenyum ramah saat menemukan rekan- rekan kerjanya yang sudah bekerja di depan komputer, apalagi saat mata terangnya melihat wajah Astha yang serius. Sangat terlihat bahwa Astha tidak mengetahui keberadaan perempuan manis itu.

Meli mulai duduk di depan komputer, dan melakukan tugas-tugasnya yang sudah menumpuk seperti gunung.



“Astha, ini gimana sih caranya?” Jari tangan Meli menunjuk ke arah komputer. Wajahnya yang bingung juga ia tampilkan.

Astha menoleh. Ia bangkit berdiri dan mendekati Meli yang masih duduk. Tangannya dengan cepat mengklik tombol mouse. “Tinggal klik sini, terus klik save. Gampang, kan?”

Meli terdiam. Wajah Astha yang sangat dekat membuat jantungnya seperti melompat-lompat. Ini pertama kali dalam kehidupannya. Ia berdeham, suara dehamannya menggema. “Terimakasih,” ucapnya canggung.

Astha mengangguk sekilas, dan kembali ke tempat duduknya yang terletak di ujung ruangan.

When tomorrow comes

I’ll be on my own

Feeling frightened up

The things that I don’t know

When tomorrow comes

Tomorrow comes

Tomorrow comes

Suara lagu itu mengalun dengan indah di telinga Asthan. Mata gelapnya memandang nasi goreng di hadapannya dengan setengah hati. Berulang kali, jemarinya mengetuk-ngetuk meja.

Di sisi lain, Meli, berjalan dengan cepat dengan sebuah nampan besar yang ada di tangannya. Langkah kakinya besar- besar. Mata terangnya memperhatikan Asthan yang sedang asyik dengan dunianya sendiri.

Prang..

Nampan yang dipegang Meli sudah tidak tau kemana. Nasi yang ia ambil, sudah berceceran kemana-mana. Padahal, untuk mencapai meja Asthan tinggal beberapa langkah lagi.

Tangan putih Meli mengelus lututnya yang membiru, karena membentur kursi. Cairan bening sudah menumpuk di pelupuk matanya, dan bersiap-siap untuk jatuh.

Suara bisik-bisikan yang samar mencapai telinganya. Ia meringis. Nasibnya sedang sial sekali hari ini.

Sebuah tangan menjulur ke arah Meli, membuat perempuan manis itu mendongak. Wajah dingin Asthan terlihat dengan jelas oleh Meli. Untuk kedua kalinya, jantungnya berdetak dengan cepat. Untuk kedua kalinya, ia terpesona dengan mata gelap Asthan yang memiliki arti tersendiri bagi Meli.

Meli menepuk-nepuk rok hitamnya yang kotor terkena tumpahan nasi yang ia bawa tadi.

“Kamu gak pa-pa? Baik-baik saja? Ada yang sakit?” Mata gelap Asthan menelusuri tubuh Meli, lalu berhenti pada lutut Meli yang membiru.

“Gak pa-pa. Baik-baik aja kok. Nanti juga sembuh dengan sendirinya.” Astha mengangguk lamat-lamat. Kemudian mempersilakan Meli untuk duduk di seberangnya.



Perempuan manis itu duduk kalem di sofanya. Itu sudah menjadi kebiasaannya jika malam-malam. Tanpa ada yang mengetahuinya sama sekali.

Bibirnya yang biasanya berwarna merah merona, kali ini berwarna putih pucat. Rambutnya yang biasanya terurai dengan indah, kali ini terlihat sangat berantakan.

Jemarinya yang lentik menyentuh tombol kecil yang ada di dekatnya. Benda persegi panjang tipis itu menampilkan gambar yang bergerak-gerak.

Perempuan anggun duduk di kursi mewah yang ada di tengah-tengah ruangan. Latar belakannya putih, putih seperti kapas. Mahkota yang melekat di rambutnya bergerak-gerak, seiring dengan kepalanya yang juga bergerak.

Kemudian, perempuan anggun itu tersenyum penuh arti. “Bagaimana… apa kau masih merasa seyakin yang kemarin?”

Perempuan manis yang duduk di sofa terdiam lama. Matanya yang biasanya terang, kali ini terlihat sangat gelap. Banyak sekali yang dipikirkan olehnya.

“Sepertinya tidak.” Perempuan anggun itu menyeringai. Deretan giginya yang putih terlihat dengan jelas. “Kalau kau tidak berhasil kali ini, kau yang mati.” Jeda dua detik. “Menarik bukan? Itulah kita, malaikat kematian.”

Perempuan manis itu terdiam lama. Tangannya terkepal dengan kuat. Ia terjebak, benar-benar terjebak. Seperti berada di sebuah gua yang sama sekali tidak kelihatan jalan keluarnya.



“Ini kesempatan terakhir” batinnya dalam hati. Meli tersenyum manis pada sosok Astha. Astha membalasnya dengan sebuah senyuman tipis, sangat tipis, hampir tidak terlihat.

Meli menghidupkan komputernya. Jemarinya dengan lincah mengetik laporan yang akan ia tunjukkan pada atasan. Tapi, pikirannya sama sekali tidak bisa fokus. Matanya sesekali melirik Astha yang juga sibuk dengan dokumen-dokumen yang menumpuk.

Meli mengacak pelan rambutnya panjangnya. Ia benar-benar terganggu dengan pikiran-pikiran aneh yang timbul begitu saja di otaknya itu.

Sebuah keputusan harus ia ambil. Memilih mengalah, atau tidak.



From: Meli

Temui aku di atap kantor, sekarang.

Kernyitan bingung muncul di dahi Astha. Untuk apa? Tapi, ia tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh Meli.

Angin yang berhembus kencang membuat rambut perempuan manis itu menari-nari, sangat indah. Matanya yang terang menatap lurus-lurus ke depan. Pemandangan gunung yang indah menjadi objek perhatiannya. Tapi, pikirannya sama sekali tidak ke sana. Pikirannya sedang berterbangan entah kemana.

Suara langkah kaki yang mendekat langsung membuatnya tersadar. Ia memainkan jemarinya sebentar. Rasa khawatir tiba-tiba melandanya begitu saja.

Wajah dingin Astha sudah terlihat dengan jelas di mata Meli. Perempuan itu tersenyum manis, seperti biasanya. Tapi, sesuatu yang berbeda dari senyuman itu mampu dirasakan Astha.

“Ada apa memanggilku kemari?” Laki-laki itu ikut memandang pemandangan yang bisa dilihat dari atas. Nada bicaranya sangat dingin.

Meli terdiam lama. “Kalau ada seseorang yang berniat jahat padamu, kau marah atau tidak?”

Astha menoleh sebentar. “Tentu saja marah. Apalagi, jika orang itu sudah cukup dekat dengan kita.”

Meli mengangguk-ngangguk. “Sekarang, kalau ada yang berniat membunuhmu, bagaimana?”

Astha menoleh kaget. Pupil matanya melebar. Tapi, lima detik berikutnya, ia sudah kembali menormalkan ekspresinya. “Memangnya kau berniat membunuhku?”

Meli meremas bajunya. Perasaan gugup melanda dirinya. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang di dalam sana. “Kalau iya, bagaimana?”

Astha tersenyum lebar, senyum yang sangat jarang ia keluarkan. “Kan baru berniat, belum melakukannya. Kalau begitu sih, menurutku juga wajar.”

Tangan Meli memegang benda transparan yang tapi ia letakkan di kantong roknya. Benda yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Matanya terpejam dengan erat. “Biarkan aku yang mati, Nona Kematian.”

Dan bersamaan dengan itu juga, tubuh Meli memudar, cahaya terang mengelilinginya. Meli berteriak lirih, tubuhnya terasa dipukul-pukul oleh benda yang sangat keras. Setelah itu, dirinya benar-benar hilang. Hilang bersamaan dengan memori Astha.



Untuk Astha,

Jatuh cinta dengan manusia, adalah hal yang terlarang bagi kami, kaum Malaikat Kematian. Tapi, aku malah jatuh cinta denganmu. Bodoh memang. Jatuh cinta dengan matamu yang gelap itu, jatuh cinta dengan sifatmu yang dingin itu.

Jadi, aku tidak mau membunuhmu. Biarlah aku yang menghilang dari bumi ini, supaya tidak ada lagi orang yang bisa kubunuh.

sumber : www.cerpenmu.com

No comments:

Post a Comment