Cerpen Karangan: Yovita Tanujaya
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Pengorbanan, Cerpen Sedih
“Ah…” ringisan demi ringisan dialami oleh anak itu, remaja yang baru saja pulih dari sakitnya itu. Anggaraini Michael Valerie nama remaja itu. Anggi yang masih terbaring lemas di kasur rumah sakit itu merubah posisinya menjadi setengah duduk ketika saudara kembar laki–lakinya itu masuk kedalam kamar rawatnya itu. Saudara kembarnya bernama Anggarano Michael Valerio.
“Hai Nggi, gimana keadaan lo?” tanya Angga seraya duduk di kursi samping kasur rawat Anggi.
“Baik” jawab Anggi lembut.
Terlihat peduli sekali Angga pada Anggi. Jelas mereka adalah saudara kembar. Namun, kerap kali mereka bertengkar hanya karena masalah sepele. Angga mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Mata almond Anggi berbinar-binar setelah melihat apa yang dikeluarkan oleh saudara kembarnya itu. Bunga Anggrek yang indah dan menawan.
“Makasih ya ampun, baik banget sih. Tau aja deh” ucap Anggi pada Angga dan mengambil bunga itu dengan secepat kilat.
“Siapa bilang itu buat lo?” Angga sedikit terkekeh karena melihat tingkah laku saudara kembarnya yang terlalu kegeeran itu.
“Lah trus!?”
“Iya lo pengang, gue mau lukis elo. Nanti kalo udah bunganya gue ambil lagi, soalnya itu properti gue” Angga tersenyum geli.
Anggi mendecak kesal pada saudaranya itu “PHP yah”. Angga tersenyum dan tak mau kalah “Gue kan gak bilang itu buat lo”. Angga mulai menjauh dari Anggi dan mengambil alat lukisnya itu. Anggi yang masih memajukan bibirnya hingga sepanjang lima senti itu tersenyum seketika. “Ya udah deh yang penting lo gambar gue” cengiran khas dari bibir Anggi membuat Angga sedikit tertawa geli.
Goresan demi goresan Angga lakukan di kanvas putihnya itu, melukis objek yang saudaranya itu pegang. Satu setengah jam lamanya untuk menghasilkan gambar masterpiecenya itu. Angga memiliki hobi sekaligus bakat dalam hal gambar dan lukis. Tak segan-segan jika Anggi meminta Angga untuk menggambarnya untuk dipamerkan kepada teman sekelasnya. Tapi, Angga selalu menolak kemauan Anggi dengan banyak alasan. Misalnya; “Gue mager”, “Tangan gue lagi kaku”, “kanvasnya gak ada” dan masih banyak lagi alasan yang menurut Anggi sudah basi.
“Mana sini Ngga, gue liat gambarnya” pinta Anggi setelah Angga bergumam
“Done”
Angga mendekat dengan membawa kanvasnya itu. Perlahan ia menunjukan lukisan Masterpiecenya itu terhadap saudaranya itu yang kegeerannya tingkat dewa.
“Lho, kok bunga anggreknya doang sih Ngga” Anggi kesal karena selama satu setengah jam ia hanya melihat lukisan bunga anggrek tanpa ada dirinya yang dari tadi sudah tersenyum sampai kering.
“Lah kan gue mau gambar anggrek bukan elo” tawa Angga berderai
—
Rumah indah nan besar yang hanya dihuni oleh Angga, Anggi dan para pembantu membuat suasana menjadi dingin. Kedua orangtua Angga dan Anggi telah meninggal akibat insiden pesawat yang jatuh sewaktu orangtua mereka akan balik ke Indonesia setelah dari urusan mereka di kantor cabang Amerika serikat.
Anggi merentangkan kedua tangannya begitu ia sampai di ruang keluarga. Angin yang berlalu lalang di sekitar tubuhnya itu membuat ia sangat nyaman. “Gue kangen banget rumah” Anggi membanting tubuhnya di sofa. Angga hanya menatapnya dan mengeleng–gelengkan kepala.
“Sepi banget tapi” gumam Anggi kecil. Anggi sangat merindukan dulu sebelum insiden mengenaskan itu terjadi. Tawa dan candaan di ruangan ini selalu membuat Anggi nyaman. Kehangatan keluarga yang sangat Anggi rindukan.
“Nggi, ke galeri gue yuk, kemaren gue baru gambar lho” Angga memecahkan imajinasi Anggi yang sedang memutar balik waktu dalam fikirannya.
“Boleh” ucap Anggi bersemangat.
Aku melihat-lihat galeri yang besar itu, dihiasi dengan lukisan lukisan indah yang melengkapinya. Anggi terhenti di salah satu lukisan dan menatapnya lekat lekat. Lukisan keluarga yang Angga lukis sendiri dengan sepenuh kemampuannya. Terlihatlah aku yang sedang bahagia di pelukan papa.
“Nggi…” suara panggilan yang terdengar agak samar di telinga Anggi. “Nggi…” panggilan terulang kembali. Anggi menoleh ke belakang dan mendapati Angga yang berada di ambang pintu melihatku dengan teduh. Tatapan mata yang sangat aku cintai sejak dulu.
“Hah?” tanya Anggi
Angga berkata lirih “Ke luar, gue mau kunci galerinya.”. Dengan langkah malas, Anggi mendekatinya dengan langkah putri solo. Sangat lambat. Dalam lubuk hati Anggi, ia masih ingin disini entah apa alasannya.
“Atau lo mau gue kunciin? Cepet Nggi” goda Angga yang gemes melihat Anggi. Mata Anggi membulat dan melangkah dengan cepat sebelum saudaranya itu menutup pintunya itu. Angga menutup pintunya dan hanya membunyikan kunci. Dan saat itu Angga tertawa dengan lepas
“Tawa lo!” Anggi mendecak kesal karena Angga mengerjainya dengan menutup pintu dan seperti membunyikan kunci tanda pintu terkunci.
Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada jalan jalan pada malam hari di taman. Siliran angin membelai-belai lembut rambur Anggi yang terlepas itu. Senyum yang mengembang dari bibir mungilnya itu.
“Ngga, duduk yuk. Capek gue” ucap Anggi yang spontan membuat Angga mencari-cari tempat duduk yang kosong. Sampai Angga tersenyum melihat salah satu kursi yang kosong. Angga menarik Anggi hingga menuju kursi di bawah pohon yang rindang itu.
“Gue mau beli minum dulu yah. Jangan kemana mana” perintah Angga yang membuat Anggi hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Anggi yang duduk menunggu seraya menatap langit malam dengan kerlap kerlip bintang yang sangat indah. Cahaya dari rembulan yang menyamankan hati, Angin kencang yang berlalu lalang membuat aku merasa dingin. 30 menit telah berlalu, Angga belum juga balik dari beli minum yang ia katakan. Anggi memutuskan untuk mencarinya saja.
Di tengah-tengah jalan, Anggi melihat ada kerumunan orang. Anggi bertanya-tanya dalam benaknya “Ada apa ya?”. Dengan tubuh mungil Anggi, ia menyelinap masuk hingga ke barisan paling depan. Ia melihat Angga yang masih sedikit sadar namun mengaduh kesakitan pada matanya. Anggi langsung bergerak cepat mengantar Angga ke rumah sakit untuk segera ditangani oleh dokter.
Satu jam berlalu, dokter baru saja keluar dari UGD. Anggi bangkit dari duduknya, perasaan cemas bercamput khawatir berkecamuk di dalam hati Anggi dokter ke luar dengan memancarkan wajahnya yang sedih.
“Kondisi pasien baik namun, ia mengalami kebutaan” Anggi menutup mulutnya tak percaya, ia langsung menerobos masuk tanpa mengindahkan ucapan dokter. Anggi duduk di hadapan Angga.
“Anggi, kok gelap sih? Lo matiin lampu ya? Gue gak bisa liat apa apa nih” Angga berucap yang membuat sir bening mengalir dari pelupuk mata Anggi.
“Terang kok Ngga, lampunya nyala”
Anggi memegang erat tangan Angga.
“Tapi, kenapa semuanya gelap? Gue buta? Jawab gue Nggi!” Angga mulai menaikan nada bicaranya. Memberontak terus.
“Tenang Ngga” Anggi mulai menenangkan Angga yang merasa sangat hancur.
“Gue gak mau buta Nggi” ucap Angga lirih. Dia mulai tenang oleh obat penenang dari dokter.
Ini sudah 3 bulan setelah kebutaan Angga. Angga yang hancur, Angga yang mulai menggeratak jika Anggi tak fokus kepada Angga. Anggi mulai mendekati Angga di kasur dan duduk di sisi Angga,
Angga berkata dengan kecewa hati. “Gue gak bisa lukis lagi Nggi”
“Lo mesti sabar, kalo ada pendonor mata, lo pasti bisa liat lagi kok, lukis gue nanti” Anggi mulai menenagngkan. Sia-sia saja, Angga masih tak menerima dengan keadaan. “Tapi, semuanya gelap Nggi.” Anggi berucap lagi “Gue yang menjadi cahaya lo, disaat semuanya gelap. Gue bakal jadi mata lo sekarang. Gue bakal jagain pangeran perseus gue seperti lo dulu jagain gue selagi gue sakit”
“Perseus?” senyum kecewa Angga terukir di bibirnya itu.
“Iya, lo lupa sama ucapan lo 10 tahun lalu? Andromeda, Perseus dan monster laut”
“Gue tuh udah begini Nggi. Gak bakal bisa berubah lagi. Gue buta, gue gak bakal bisa jagain putri Andromeda gue lagi” Angga pasrah dengan keadaan sekang dia berbaring kemas di tempat tidurnya itu.
“Kan gue udah bilang, gue yang jagain perseus gue. Lo harus usaha Angga, cita cita lo tinggi Ngga. Gue yakin kok lo bisa lihat lagi, entah mungkin sepuluh menit dari sekarang pihak rumah sakit nelepon dan bilang ada donor mata. Kita kan gak tau kan?”
“Rasanya gak mungkin Nggi”
“Kita itu lagi berada di roda kehidupan Angga. Mungkin sekarang lo itu lagi dimasa keterpurukan lo dan kita tidak tau mungkin besok lo sukses seperti apa yang lo impikan. Mama sama papa pasti sedih kalo liat anak laki lakinya jatuh, anak laki laki kesayangan mereka patah semangat. Kalo lo tetep yakin, percaya deh lo pasti bisa Ngga” Angga hanya diam mendengar ucapan saudara kembarnya itu yang masih setia duduk di sisinya.
“Hidup itu gak sempurna bila hanya manis rasanya. Hidup itu akan lebih sempurna jika ada rasa pedas karena disitu lo baru akan tau apa artinya hidup Ngga. Semangat Ngga”
6 bulan telah berlalu, rasanya sudah lama setelah kejadian itu. Sudah 3 bulan semenjak Anggi ternyata divonis penyakit jantung. Angga masih sama seperti sedia kala, dia masih terpuruk, menjadi seorang yang pendiam.
“Angga, gue punya kabar bagus nih buat lo” ucap Anggi semangat “Lo bakal dapet donor mata secepatnya” lanjutnya
“Beneran Nggi?” Angga memastikan dengan semangatnya
“Iya” balas Anggi.
“Kapan?”
“Besok Ngga”
“Gue gak sabar ngeliat wajah lo sekarang” Angga kembali semangat atas kabar yang sangat baik yang diberikan oleh Anggi. ‘Gue seneng kalo lo semangat’ gumam Anggi dalam hatinya. Angga mengukir senyumnya, senyum yang hilang selama 6 bulan ini.
Operasi berjalan dengan lancar, selama satu minggu masa pemulihan, perban di mata Angga telah dibuka, pandangan yang kembali dengan sempurna, teriknya cahaya mentari yang dapat dilihat oleh Angga. Angga melihat sekitarnya ‘Anggi mana?’ ia masih mencari cari saudara perempuannya itu, sampai ia menemukan satu orang dokter yang tersenyum dengan membawa surat.
“Kamu Angga kan?” tanya dokter itu.
“Iya dok, dokter tau gak, saudara saya yang namanya Anggi dimana?” tanya Angga sopan.
“Baca ini nak, dokter turut prihatin” dokter itu memberi Angga surat dan meninggalkan di kamar rawatnya sendirian, perlahan Angga membuka surat itu, perasaan bingung dibenak Angga.
“Dear my Perseus,
Gimana? Kamu udah bisa lihat sekarang? Aku senang jika melihat kamu senang, aku senang melihat ukiran senyummu, aku senang milihat kamu yang melukis aku. Hahaha maaf ya, aku penasaran dengan satu lukisan yang kamu larang buka dan aku nekat buka. Makasih banget itu gambar cantik banget secantik yang di gambar iya kan? Aku gak nyangka bakal ninggalin kamu. But, kamu gak usah takut, aku terus ada di sisi kamu terus kok, aku yang ada di hati pangeran perseus aku. Gapai cita cita lo sekarang. Tunggu aa lagi Ngga? Ayo lo mesti bangkit menjadi yang terbaik. Oh iya, gue udah ketemu mama papa lho. Mereka masih sama cantik dan ganteng. Mereka juga bilang kalo mereka sedih waktu kamu jatuh dan terpuruk. Makanya sekarang kamu mesti kuat ya, jangan pantang menyerah. Eh gak enak ya pake aku-kamu hahaha coba aja Ngga hahahaha. Udah dulu ya, Sampai ketemu lagi bye.
Salam sayang
Andromeda.
Sumber www.cerpenmu.com
No comments:
Post a Comment